TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Wido Supraha menyebutkan 6 kelemahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS.
Pertama, RUU PKS tidak komprehensif, melainkan parsial. "KDRT hanya berlaku di lingkungan rumah tangga, sodomi enggak diatur. Justru harusnya kita atur secara komprehensif," kata Wido dalam diskusi bertajuk 'RUU PKS Berfaedahkah untuk Perempuan Indonesia?' di Perpustakaan Nasional, Jakarta pada Sabtu, 5 Oktober 2019.
Kedua, RUU PKS dibangun di atas narasi paham dan teori feminisme, tanpa adanya perspektif agama dan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. "Dan agama dengan feminisme radikal berseberangan. Kita pancasialis. I'm standing in pancasila side. What is your side?" katanya.
Ketiga, Wido menjelaskan RUU PKS lemah dalam pembuktian kekerasan seksual yang terjadi pada korban. Keempat, dia menyebut RUU PKS mendikte Kepolisian, Jaksa dan Hakim menabrak KUHP, UU Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian.
"Di RUU PKS mewajibkan hakim, jaksa, polisi menyiapkan perangkat, ruangan, alat, personel khusus di setiap wilayah? Kita disuruh mengeluarkan biaya yang harusnya kita bisa optimalkan yang ada," katanya.
Kelima, Dosen pascasarjana UIKA Bogor ini menyebut RUU PKS memuat hukum acara pidana sendiri, terpisah dari hukum acara pidana nasional yaitu KUHP. Terakhir, Wido menyebut RUU PKS menggabungkan hukum formal dan materil. "Ini yang paling ditolak pakar hukum Indonesia. Ini persoalan kelemahannya," katanya.