TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat diisi oleh mayoritas partai koalisi pengusung Joko Widodo atau Jokowi - Ma'ruf Amin. Meski begitu, sejumlah pengamat menilai hal ini belum tentu akan memuluskan setiap agenda pemerintah yang memerlukan persetujuan parlemen.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno mengatakan potensi muncul oposisi dari dalam koalisi pemerintah cukup terbuka. Apalagi jika dalam kondisi tertentu Jokowi lebih mendengarkan aspirasi publik ketimbang partai politik.
"Untuk isu-isu tertentu cukup potensial memang terjadi dalam tanda kutip perang saudara," kata Adi kepada Tempo, Sabtu, 5 Oktober 2019.
Salah satu contohnya terkait pertimbangan Presiden Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perpu KPK). Partai utama pengusung Jokowi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, justru menjadi yang paling lantang menolak rencana tersebut.
Selain itu, kata Adi, koalisi Jokowi juga terbilang rentan. Hal ini ditandai dengan naik-turunnya hubungan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Panas dingin relasi mereka terjadi lantaran PDIP cenderung membuka pintu untuk Gerindra, sedangkan Nasdem tampak keberatan partai besutan Prabowo Subianto itu bergabung ke koalisi Jokowi.
"Kalau dilihat tanda-tandanya, bulan madunya cukup potensial akan segera berakhir. Ke depan tidak bisa diprediksi akan sesolid apa partai-partai pendukung ini," kata Adi.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandez menyampaikan hal senada. Arya menilai sikap politik DPR akan cenderung cair meski diisi mayoritas koalisi Jokowi.
"Cair, karena tingkat loyalitas koalisi lemah. Yang kedua, karena kemampuan mengelola koalisi ini lemah," kata Arya dihubungi terpisah.