TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menolak pendapat bahwa Presiden Jokowi bisa dimakzulkan jika mengeluarkan Perpu KPK. Dia meminta elite partai politik dan sejumlah pihak lainnya tak menyesatkan publik dengan wacana menyesatkan tersebut.
"Perpu sepenuhnya wewenang presiden dengan pandangan subyektifnya. Jadi, kapan saja presiden bisa mengeluarkan perpu, bila dibutuhkan," ujarnya dalam diskusi 'Mengapa Perpu KPK Perlu?' di Menteng, Jakarta pusat, hari ini, Jumat, 4 Oktober 2019.
Bivitri menjelaskan, ada dua opini yang dipakai untuk menyesatkan publik belakangan ini. Pertama, Perpu KPK tidak boleh dikeluarkan jika judicial review sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Adapun opini kedua, Perpu KPK tidak bisa dikeluarkan jika Undang-Undang KPK belum diundangkan.
Bivitri membenarkan bahwa perpu tak bisa diterbitkan atas undang-undang yang belum diundangkan. Maka, menurut dia, jika Presiden Jokowi ingin mengeluarkan Perpu KPK segeralah diundangkan UU KPK yang baru saja disahkan oleh DPR.
Kalau Presiden Jokowi tak mau meneken UU KPK tersebut, dia melanjutkan, bisa menunggu 30 hari sejak undang-undang disahkan oleh DPR. Setelah itu perpu bisa diterbitkan.
"Pilihannya bebas, tapi yang jelas, nyatakan dulu secara tegas bahwa perpu akan dikeluarkan untuk merespons situasi. Urusan nanti perpu ditolak DPR, itu soal lain," ujar Bivitri menegaskan.
Sejumlah elite politik dan tokoh hukum mengingatkan Jokowi untuk hati-hati jika ingin mengeluarkan Perpu KPK karena bisa berisiko dimakzulkan.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita, misalnya, menyebut bahwa mendesak Jokowi segera menerbitkan Perpu KPK sama dengan menjerumuskan Presiden Jokowi.
Romli mengingatkan penerbitan Perpu KPK sebelum UU KPK hasil revisi sah diundangkan akan melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Kalau Presiden melanggar UU, dapat di-impeach," ujarnya dalam keterangan tertulisnya hari ini, Jumat, 4 Oktober 2019.
Bivitri menanggapi bahwa dalam sistem pemerintahan Presidensial, kedudukan presiden sangat kuat. Presiden tak akan jatuh selain karena pelanggaran berat dan pidana yang berat seperti diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Proses pemakzulan pun harus melalui putusan Mahkamah Konstitusi.
"Dikeluarkannya perpu merupakan langkah konstitusional menurut pertimbangan subjektif presiden sehingga tidak akan dapat digunakan untuk menjatuhkan presiden."