TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Kepala Jentera School of Law, Bivitri Susanti, membantah pernyataan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, yang menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi bisa dimakzulkan jika mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perpu KPK). "Salah," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis, 3 Oktober 2019.
Ia menjelaskan sistem presidensil Indonesia saat ini lebih konsisten, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat dan punya masa jabatan yang jelas. Berbeda dengan era sebelum amandemen UUD pada 1999-2002, presiden saat ini tidak bisa dijatuhkan di tengah masa jabatannya karena alasan politik.
"Jadi berbeda kerangka konstitusionalnya dengan, misalnya, waktu Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dijatuhkan oleh MPR," ucapnya.
Ia menuturkan saat ini seorang presiden baru bisa dijatuhkan untuk alasan-alasan hukum dan melalui proses panjang. "Jadi begitu, ya. Janganlah bikin narasi-narasi yang menyesatkan dan "menakut-nakuti" presiden dan para pendukungnya bahwa kalau perpu keluar presiden bisa dijatuhkan. Tidak semudah itu," kata Bivitri.
Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945, kata Bivitri, presiden dan/atau wakil presiden bisa dimakzulkan jika terbukti melanggar hukum berupa hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Sebelumnya, Surya Paloh mengklaim Jokowi dan partai koalisi berpendapat tak akan mengeluarkan Perpu KPK. Paloh mengatakan hal ini dibicarakan dalam pertemuan lima pimpinan partai koalisi dengan Jokowi di Istana Bogor pada Senin malam lalu.
Ia juga mengatakan jika Perpu KPK keluar, Jokowi bisa dimakzulkan. Alasannya saat ini sudah ada pihak-pihak yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.