TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti senior Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, Syamsuddin Haris mengkritik pandangan Wakil Presiden Jusuf Kalla soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perpu KPK.
"Perpu KPK dibutuhkan untuk memulihkan martabat Presiden. Sebab, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyetujui naskah RUU KPK," kata Syamsuddin dalam diskusi bertajuk Urgensi Perpu KPK yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta pada Rabu, 2 Oktober 2019.
Syamsuddin mengatakan, situasi saat ini termasuk genting bagi Presiden untuk menerbitkan Perpu atas revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diteken DPR pada 17 September 2019. Dia menyebut kegentingan ini terkait keinginan Parlemen di Senayan yang mau melumpuhkan KPK.
"KPK sudah tidak ada bentuknya. Bonyok. Penindakan tidak ada. Substansi lebih seperti komisi pencegahan korupsi. Naskah RUU KPK juga bukan revisi, sebab itu hampir semua pasal. Penambahan dewan pengawas saja banyak sekali. Ini perubahan drastis atas UU," katanya.
Untuk itu, Profesor Riset bidang perkembangan politik Indonesia ini menyebut Perpu KPK mesti berisi subjektifitas Presiden atas subtansi UU KPK baru yang tidak sesuai dengan komitmen Presiden dalam memperkuat KPK. "Sebab visi mengawal KPK dan menegakkan pemerintahan bersih dihambat dan digagalkan oleh DPR. Kuat sekali alasan untuk Perpu," katanya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai saat ini Presiden Jokowi tak perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau Perpu KPK. Ia mengatakan dengan mengeluarkan Perpu KPK, Jokowi akan terlihat tak konsisten.