TEMPO.CO, Jakarta - Analis politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menyebut ada tujuh faktor yang menyebabkan kekerasan kerap mewarnai demo mahasiswa. Faktor pertama adalah kekecewaan mahasiswa dan masyarakat terhadap kinerja elit politik yang buruk. "Misalnya terhadap praktek korupsi yang terus-menerus dilakukan elit politik," kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa, 1 Oktober 2019.
Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat 61 persen korupsi dilakukan oleh aktor politik. Kekecewaan itu memuncak ketika kalangan legislatif dan eksekutif bersepakat untuk melemahkan KPK lewat revisi undang-undang.
Faktor kedua, menurut Ubedilah ialah ekonomi yang melambat. Ia mengatakan pertumbuhan ekonomi yang berkisar pada 5,05 persen per tahun menunjukan adanya pengurangan peluang kerja hingga berkurangnya penghasilan masyarakat. Situasi ini, kata dia, dapat dengan mudah memicu kemarahan masyarakat.
Direktur Eksekutif Center for Social Political, Economic and Law Studies ini menyebut faktor ketiga ialah ketidakpastian peluang kerja anak-anak Sekolah Menengah Atas dan sederajat. Mereka, kata dia, juga kecewa pada elit politik yang lebih mementingkan diri sendiri dibanding nasib jutaan anak SMA. Kekecewaan ini, kata dia, lagi-lagi menemukan kanalnya lewat upaya melemahkan KPK.
Faktor keempat, kata Ubedilah, karena sistem politik yang tidak dijalankan sesuai dengan sistem Pancasila dan demokrasi. Kelima, menurut dia adalah kebijakan pusat yang dinilai kurang adil terhadap daerah. Hal itu, diperburuk dengan cara aparat menangani problem di daerah yang kerap menggunakan cara represif.
Keenam, kata dia, aparat juga kerap menggunakan cara represif dibandingkan dialogis dan kultural dalam menghadapi demo mahasiswa. "Seharusnya yang diutamakan dilakukan aparat negara adalah cara-cara dialogis dan kultural dalam menghadapi rakyatnya baik di pusat msupun di daerah. Termasuk cara aparat keamanan menghadapi para demonstran," kata dia.
Ketujuh, Ubedilah mengatakan rakyat kecewa karena elit politik lebih mementingkan kepentingan elit politik dan elit ekonomi dibanding kepentingan nasional. Hal itu, kata dia, terlihat dari dipercepatnya pembahasan sejumlah UU bermasalah seperti UU KPK, RUU KUHP dan ketenagakerjaan. "Watak elit semacam itu telah membuat kekecewaan semakin akumulatif."