TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan menilai tidak ada urgensinya Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau Perpu KPK untuk saat ini. Sebab, ujar dia, sejak awal DPR dan pemerintah telah sepakat melakukan perubahan.
Syarief membandingkan dengan Perpu UU Pilkada yang pernah dikeluarkan Presiden Keenam Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Ketika itu, Demokrat sebagai partai utama pendukung pemerintah sudah tidak sepakat akan pengesahan UU Pilkada, namun kalah suara di pengambilan keputusan tingkat I. Sehingga, undang-undang tetap lanjut disahkan dan SBY akhirnya mengeluarkan Perpu untuk menganulir UU tersebut.
"Jadi kondisinya berbeda dengan Perpu yang dikeluarkan Pak SBY. Ya silakan saja keluarkan Perpu, tapi kami melihat tidak ada urgensinya," ujar Syarief di Kompleks Parlemen, Senayan pada Senin, 30 September 2019.
Demokrat, ujar Syarief, sejak awal dalam posisi sepakat dengan perubahan yang memperkuat KPK. "Yang perlu dipertegas hanya siapa yang mengangkat dewas. Bagi Demokrat itu memang sedikit rancu dan perlu dipertanyakan independensinya nanti kalau diangkat oleh presiden," ujar Syarief.
Jika nanti Presiden Jokowi tetap mengeluarkan Perpu dan meminta pertimbangan DPR, Demokrat belum bisa memastikan menerima atau menolak. "Kalau Perpu keluar, ya kita lihat saja sejauh mana. Kami bandingkan, kami harus pelajari dulu," ujar dia.
Sejauh ini, sikap partai terbelah berkaitan dengan rencana Presiden Jokowi mengeluarkan Perpu KPK. PDIP sebagai partai pendukung utama pemerintah menolak Perpu dikeluarkan. Sebagian partai pendukung pemerintah lainnya juga bersikap sama.
Adapun Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon menyebut, Jokowi memiliki kuasa penuh untuk mengeluarkan Perpu KPK. "Sekarang ini bola ada di tangan presiden. Pak Jokowi punya kuasa penuh atas KPK," ujar Wakil Ketua DPR RI ini di Kompleks Parlemen, Senayan pada Jumat, 27 September 2019.