TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan uji materi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi yang dimohonkan 18 mahasiswa masih terlalu prematur. Alasannya undang-undang itu baru sebatas disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, dan belum ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
"UU itu membutuhkan tahapan perencanaan, ini sudah, penyusunan, sudah, pembahasan, sudah. Pengesahan, ini yang belum. Karena pengesahannya oleh presiden, dan pengundangan," kata Wahiduddin dalam sidang di gedung mahkamah Konstitusi, Senin, 30 September 2019.
Gugatan uji materil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK itu diajukan 18 mahasiswa, dengan kuasa pemohon yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.
Dalam uji materiilnya, para penggugat mempermasalahkan syarat pimpinan KPK yang diatur dalam UU KPK Pasal 29. Pasal itu mengatur bahwa pimpinan KPK harus memenuhi syarat yakni tidak pernah melakukan perbuatan tercela, memiliki reputasi yang baik dan melepaskan jabatan struktural atau jabatan lain selama menjadi pimpinan KPK.
Dalam gugatan formil, para penggugat mempersoalkan proses revisi UU yang dianggap cacat prosedur karena tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas. Para penggugat juga mempermasalahkan rapat paripurna pengesahan UU KPK, pada 17 September 2019.
Selain menilai prematur, hakim konstitusi Wahiduddin juga menyoroti adanya pemohon yang tak sepenuhnya mahasiswa. Dalam daftar pemohon nomor 15, tertulis bahwa ia merupakan politikus dan merupakan mantan mahasiswa. Sedangkan pemohon nomor 17 tak dicantumkan statusnya.
"Yang dilampirkan tidak ada kartu mahasiswa, hanya KTP. Ini sekedar mengingatkan," kata Wahiduddin.