TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat media sosial dari Drone Emprit, Ismail Fahmi, menilai cuitan yang ditulis aktivis dan pendiri Watchdoc Dandhy Dwi Laksono dalam akun twitternya tak semata tulisan tanpa fakta.
Ismail melihat cuitan mengenai kondisi Wamena dan Jayapura ditulis Dandhy Laksono berdasarkan informasi yang ia kumpulkan terlebih dahulu. "Itu infonya dia kumpulkan, dia cari tahu, apalagi dia kan juga mantan wartawan. Bukan sekedar ngetweet tanpa fakta dengan niat provokasi. Dia justru sampaikan fakta," ujar dia saat dihubungi, Sabtu, 28 September 2019.
Namun, dalam kondisi saat ini, kata Ismail, sebuah narasi di media sosial bisa ditulis oleh siapa saja. Apalagi, jika narasi tersebut tidak memiliki info pembanding. "Makanya unggahan itu dinilai bernada tuduhan," ujar Ismail.
Ia pun menyayangkan sikap kepolisian menangkap Dandhy dan menjadikannya sebagai tersangka. "Kalau yang ditulis benar, menjadi sebuah pertanyaan apakah tidak boleh menyampaikan fakta?" ucap Ismail.
Ismail menilai dampak dari penangkapan tersebut akan membuat masyarakat bingung bagaimana cara menyampaikan informasi tanpa menimbulkan perasaan takut. Sikap kepolisian tersebut kemudian meninggalkan kesan bahwa hanya ada satu kebenaran di era pemerintah saat ini. "Yakni kebenaran versi polisi," kata Ismail.
Sebelumnya, Dandhy Laksono ditangkap oleh pihak kepolisian pada Kamis malam, 26 September 2019, sekitar pukul 23.00 WIB. Ia ditangkap di rumahnya, di kawasan Pondok Gede, Bekasi.
Dandhy dibebaskan usai diperiksa selama hampir 4 jam di Gedung Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Meski tak ditahan, status Dandy adalah tersangka. Ia dituduh melanggar pasal ujaran kebencian terhadap individu atau suatu kelompok. Hal ini berdasarkan SARA sesuai pasal 28 ayat 2 junctopasal 45 A ayat 2 UU ITE.
ANDITA RAHMA | DIAS PRASONGKO