TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi mengeluhkan sulitnya akses mendapat informasi dan memberi bantuan hukum untuk mahasiswa, pelajar, dan masyarakat lainnya yang ditangkap dalam unjuk rasa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada 24-25 September 2019.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Arif Maulana mengatakan, pihaknya kesulitan memperoleh informasi ihwal siapa saja yang ditangkap dalam aksi massa selama dua hari tersebut. Dia hanya mendapat total angka seperti yang dirilis Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.
"Tanggal 25 Polda merilis melakukan pengamanan terhadap 94 mahasiswa di Polda, kemudian 49 di Polres Jakbar, tapi tidak ada nama-nama orang yang diamankan itu," kata Arif di kantornya, Jumat malam, 27 September 2019.
Bahkan hingga kemarin, saat menyatakan membebaskan dua mahasiswa yang diklaim telah dihentikan perkaranya, polisi juga tak merinci berapa orang yang masih ditahan.
Berikutnya, Arif menyoroti tidak jelasnya status hukum orang-orang yang ditangkap itu. Padahal menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, orang yang ditangkap harus ditentukan status hukumnya dalam 1x24 jam. Namun penangkapan itu terjadi sejak 24 malam dan hingga kemarin status hukum orang-orang yang ditangkapi itu tak dibuka kepada tim advokasi.
"Harusnya satu kali dua puluh empat jam itu dilepaskan demi hukum, atau kemudian dilakukan penahanan tapi statusnya dinaikkan. Persoalannya sampai tanggal 26 malam, bahkan tadi ketika memantau informasinya, status teman-teman belum jelas," kata dia.
Sejumlah kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menggelar aksi solidaritas di depan Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Kamis malam, 26 September 2019. Aksi solidaritas tersebut dilakukan untuk mendoakan almarhum Randi, salah satu mahasiswa Universitas Haluoleo yang tewas saat mengikuti demonstrasi di depan kantor DPRD Sulawesi Utara. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Tak cuma itu, Arif menyebut tim advokasi juga kesulitan mendapat akses memberikan bantuan hukum. Polisi juga tak memberikan informasi kepada pihak keluarga, serta akses untuk menemui anggota keluarga yang ditahan. Padahal dua hal ini jelas diatur dalam KUHAP.
"Setiap orang yang kemudian disangka melakukan tindak pidana tertentu, dia berhak dikunjungi keluarga dan bantuan hukum, berhak dianggap tak bersalah sampai ada putusan pengadilan," kata dia.
Staf Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Muhammad Andi Rizaldi mengatakan mahasiswa yang ditahan di Polda Metro Jaya disebar di berbagai unit. Itu sebabnya, kata dia, informasi yang ada juga tak terintegrasi.
Andi mengatakan para orang tua atau kerabat yang mencari di Polda pun ibarat dipingpong dari satu unit ke unit lainnya. Dia pun mempertanyakan mengapa kepolisian terkesan menutup-nutupi akses terhadap keluarga dan tim advokasi.
"Kami pertanyakan itu, karena tidak menutup kemungkinan di dalam terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan, seperti dugaan tindakan penyiksaan, dan dugaan tindak pidana terhadap kemanusiaan," kata Andi di lokasi yang sama.
Pengacara publik LBH Masyarakat Afif Abdul Qoyim mengingatkan, lembaganya bersama LBH Jakarta dan Kontras memiliki mandat untuk menjadi pendamping dan kuasa hukum. Dia pun mendesak polisi segera mengungkap keberadaan dan detil siapa saja orang-orang yang ditahan pasca-demo di DPR.
"Kami punya mandat dari Undang-undang dan terakreditasi oleh pemerintah. Tapi kami tidak diberi kesempatan. Kami sayangkan situasi minimnya akses bantuan hukum yang kami tak bisa berikan," kata Afif.