TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo membantah tudingan terkait dana corporate social responsibility (CSR) dari Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Isu yang kembali merebak itu didasarkan pada buku Romli Atmasasmita yang berjudul Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan Lembaga Pegiat Antikorupsi: Fakta dan Analisis.
Merujuk hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Romli menuduh ICW, Pukat Universitas Gadjah Mada, dan kelompok masyarakat sipil lainnya menerima dana hibah dari KPK sehingga getol mendukung KPK.
"Tuduhan Romli bahwa ICW, Pukat dan lain-lain terima dana hibah dari KPK dengan dasar hasil audit BPK sangat serampangan," kata Adnan dalam keterangan tertulis, Jumat, 27 September 2019.
Adnan mengatakan bisa jadi KPK mempunyai program yang dikerjasamakan dengan kelompok masyarakat. KPK memiliki satu divisi khusus bernama pendidikan dan pelayanan masyarakat.
Namun audit BPK itu tidak pernah menyebut lembaga masyarakat mana saja yang pernah bekerjasama dengan KPK. Nama-nama lembaga yang pernah bekerja sama dengan KPK, kata Adnan, bisa diperoleh ke KPK dan BPK.
"ICW sendiri tidak pernah punya program khusus bersama dengan KPK. Sayangnya Romli dengan gegabah menyimpulkan jika itu ICW, Pukat dan lain sebagainya," kata dia.
Kedua, Adnan menanggapi tuduhan Romli bahwa ICW menerima dana hibah dari KPK dan karenanya sangat membabi buta mendukung KPK. Dia menilai kesimpulan itu sangat menyesatkan.
Kata Adnan, data yang digunakan Romli untuk menyimpulkan hal ini adalah dokumen laporan keuangan hasil audit milik ICW sendiri yang telah dipublikasikan di www.antikorupsi.org. Dalam laporan keuangan tahun 2014, disebutkan ada penerimaan dana tak terikat dengan nama penerimaan “saweran KPK”.
Adnan menuturkan, dana saweran KPK itu dikumpulkan justru untuk pembangunan gedung baru KPK. Sejarahnya, pada tahun 2012 KPK mengajukan usulan pembangunan gedung baru, tapi DPR kala itu menolak sehingga lahirlah inisiatif dari masyarakat untuk patungan yang rekeningnya dibuka oleh ICW.
Penggalangan dana itu masih terbuka hingga 2014 karena mekanisme hibah dari masyarakat kepada lembaga negara tidak ada aturannya. Adnan mengatakan ICW telah beberapa kali berkonsultasi dengan Kementerian Keuangan, tapi tak ada solusinya.
"KPK sendiri tidak mau melanggar aturan sehingga belum siap menerima dana itu. Terjadilah deadlock. Uang saweran masyarakat itu tetap berada di rekening yang dibuka ICW sampai kemudian tahun 2015 saya minta rekening itu ditutup," kata Adnan.
Dia mengatakan total uang yang terkumpul sebesar Rp 424.152.000,00 pun diserahkan kepada KPK karena ICW tidak ingin terbebani dengan uang sebesar itu.
Berikutnya, Adnan membantah tudingan Romli bahwa ICW tak terbuka terkait dana hibah pihak asing. Sumber bahan yang digunakan Romli adalah hasil audit keuangan yang dipublikasikan secara teratur oleh ICW melalui website (www.antikorupsi.org) dan laporan tahunan.
Menurut Adnan, jika tidak terbuka tidak mungkin Romli akan mendapat laporan keuangan ICW. "Yang kemudian gagal dia baca atau analisis secara benar," ucapnya.
Adnan menilai jika Romli benar serius membaca data, hibah asing yang masuk ke Indonesia sebagian besar justru mengalir ke lembaga-lembaga negara. Menurut catatan ICW, berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, sepanjang 2011 hingga pertengahan 2016, total dana hibah mencapai Rp 41,58 triliun.
Masing-masing Rp 14,36 triliun hibah dari dalam negeri dan Rp 27,22 triliun dari luar negeri (asing). Uang tersebut menyebar ke hampir semua lembaga negara, mulai dari Majelis Permusyawaratan Rakyat hingga Kejaksaan Agung.
Contohnya pada 2014, Kepolisian Republik Indonesia mendapat hibah sebesar Rp 470,8 miliar, Kementerian Kesehatan Rp 866,8 miliar, dan Kementrian Hukum dan HAM Rp 84 miliar.
"Romli pasti tidak akan berani menanyakan penggunaan dana hibah tersebut apalagi menuding lembaga-lembaga itu tidak nasionalis dan antek asing," kata Adnan.
Selanjutnya, Adnan menjawab tuduhan Romli soal ICW menerima hibah dari RWI-Migas sehingga tak berani masuk ke sektor tersebut. Adnan menjelaskan, RWI-Migas adalah kependekan dari Revenue Watch Institute, lembaga donor internasional yang berfokus pada advokasi keterbukaan kontrak sektor migas.
Adnan mengatakan mandat dari program yang diterima oleh ICW sangat jelas, yakni agar bagaimana sektor migas terutama kontrak-kotraknya di Indonesia lebih transparan. Inisiatif EITI yang menjadi tonggak dari berdirinya Publish What You Pay (PWYP) Indonesia salah satunya didukung oleh RWI.
"ICW juga telah banyak mengkritisi kebijakan migas di Indonesia. Jika Romli cukup berbesar hati untuk mengunjungi Google dan ketik dua kata: ICW migas, maka akan banyak sekali informasi terkait dengan advokasi ICW di sektor itu. Belum lagi ketika bicara timah, tambang, dan sektor kehutanan," kata Adnan.
Dari berbagai penjelasannya, Adnan menilai Romli telah melakukan sejumlah kesalahan fatal. "Namun sayangnya, masih banyak yang percaya dengan informasi itu dan menggunakannya untuk menuduh serampangan."