TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengatakan unjuk rasa yang terjadi selama tiga hari belakangan di Gedung DPR merupakan bentuk keresahan masyarakat karena keadilan tidak berjalan di Indonesia.
“Kalau semua saluran politik, semua saluran keadilan, semua saluran rakyat kecil bisa menyuarakan kecemasannya, bisa mendapat perlindungan, itu tidak bekerja, (lalu) apakah kita salahkan anak-anak kita kalau turun ke jalan,” kata Prabowo saat mengisi Simposium Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI) di Padepokan Garuda Yaksa, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis 26 September 2019.
Meski begitu, Prabowo lantas menambahkan komentarnya dengan tidak menganjurkan para mahasiswa untuk turun ke jalan terlebih mahasiswanya dari UKRI, “Ini tidak saya anjurkan kalian turun ke jalan ya, apalagi pakai blazer (almamater) UKRI, awas rektor, ya kalau demo jangan bawa blazer (almamater) UKRI lah,” sambung Prabowo.
Lebih jauh, Prabowo menganggap, saat ini pemerintah Indonesia telah gagal melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Muaranya, karena Indonesia masih menganut paham neoliberal yang cenderung memberikan keuntungan pada kapitalistik.
“Mbah-nya neolib saja, Amerika sudah meninggalkan paham neolib, mbok ya kita murid-muridnya kok masih,” kata Prabowo.
Dalam paparannya, Prabowo menyebut, salah satu bukti neoliberal masih mengakar di Indonesia adalah masih impornya produk-produk pangan dan energi. Ia menyebut impor itu mnghabiskan anggaran negara mencapai $ 25 miliar per tahunnya.
“Padahal kita bisa swasembada baik pangan maupun energi,” kata Prabowo.
Swasembada itu, kata Prabowo, telah ia tuangkan dalam strategi yang ia buat bersama para ahli yang dinamakan strategi pertumbuhan ekonomi dua digit atau sustained double digit growth. “Saya (akan) sodorkan strategi kami (kepada) siapa pun yang memimpin, karena ini negara kita semua, jangan kita berlarut dalam permusuhan,” kata Prabowo.