TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut gembira keputusan DPR RI menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS.
Menurut Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi, RUU PKS telah menimbulkan pro dan kontra yang sangat tajam dari berbagai kelompok masyarakat. "Sehingga menurut pandangan kami, perlu ada pendalaman lebih lanjut dan pembahasannya lebih banyak melibatkan masyarakat sehingga dihasilkan RUU yang komprehensif," ujar Zainut saat dihubungi Tempo pada Kamis, 26 September 2019.
Lebih dari itu, MUI juga menilai sebaiknya pengesahan RUU PKS menunggu pengesahan RUU KUHP karena beberapa pasal sanksi pidana akan merujuk pasal-pasal dalam KUHP agar sinkron.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menilai penundaan pengesahan RUU PKS terjadi karena tekanan publik. "Mendatang, Pemerintah dan DPR perlu mengefektifkan sosialisasi dan pola komunikasinya ke publik. Dan jangan terkesan menggunakan sistem SKS (sistem kebut semalam). Kesan SKS itu karena masyarakat tidak tahu rangkaian proses pembentukan suatu UU," ujar Robikin saat dihubungi terpisah.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memastikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak akan disahkan DPR pada periode ini. Pria yang akrab Bamsoet mengatakan, waktu kerja yang tinggal sedikit lagi tidak memungkinkan DPR dan pemerintah menyelesaikan RUU PKS.
“Saya sudah berkoordinasi dengan pimpinan Panja terkait, karena waktunya yang pendek dan masih banyak masalah yang belum selesai dibahas, maka kita putuskan ditunda,” ujar Bamsoet lewat keterangan tertulis pada Kamis, 26 September 2019.
Bamsoet mengatakan, pembahasan RUU PKS akan dibawa di masa jabatan DPR periode 2019-2024 yang akan dilantik pada 1 Oktober mendatang dengan sistem carry over.