TEMPO.CO, Jakarta - Tokoh Gerakan Suluh Kebangsaan, Mahfud MD, membeberkan ada tiga hal selain berunjuk rasa yang bisa dilakukan masyarakat dalam menolak sejumlah rancangan undang-undang.
"Demo fisik ditahan dulu. Saya senang sebenarnya lihat demo, tapi tetap harus ada rasionalitasnya. Ada tiga hal yang bisa dilakukan," ujar Mahfud di Hotel Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan pada Kamis, 26 September 2019.
Sebab, Mahfud mulai melihat bahwa aksi unjuk rasa tak lagi relevan. Ia mencontohkan perihal revisi UU KPK yang baru disahkan. Ia menjelaskan, meski Presiden Joko Widodo atau Jokowi belum menandatangani revisi UU KPK tersebut, tetapi aturan itu bisa berlaku dengan sendirinya ketika sudah 30 hari dari waktu pengesahan atau tepatnya pada 16 Oktober 2019 nanti.
Dalam sisa waktu lebih dari dua pekan ini, masyarakat bisa menempuh tiga hal. Pertama, melakukan upaya perubahan melalui legislatif review. "Disahkan saja dulu, kemudian tidak lama sesudah itu diagendakan untuk dibahas kembali," ujar Mahfud.
Lalu langkah kedua yang bisa dipilih adalah judicial review. Masyarakat meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU KPK yang baru.
Pembatalan itu, kata Mahfud, bisa melalui dua jalur. "Satu uji formal, diminta batal karena prosedurnya salah. Dua, melalui uji materi. Jadi isinya saja yang digugat," ucap dia.
Kendati demikian, Mahfud mengingatkan bahwa ada aturan yang menyebut MK tidak boleh membatalkan satu UUD yang tidak disukai orang tapi tidak melanggar konstitusi. "MK bisa menyatakan itu urusan DPR dan pemerintah, sehingga bisa kembali ke legislatid review," kata Mahfud.
Opsi terakhir yakni Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Namun untuk opsi ini, Jokowi sendiri sudah memastikan tidak menerbitkan perppu terkait UU KPK baru yang telah disahkan DPR.