TEMPO.CO, Jakarta - Mahasiswa dari berbagai kampus di Yogyakarta dijadwalkan berdemonstrasi besar-besaran yang mereka beri nama Gejayan Memanggil. Unjuk rasa ini menentang berbagai revisi undang-undang bermasalah yang akan segera disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin, 23 September 2019.
Rencana aksi Gejayan Memanggil itu dibenarkan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI) Zuhad Aji Firmantoro.
"Sebenarnya rencana aksi di Yogya ini sudah diserukan sejak demonstrasi di Kantor KPK yang lalu," ujar Zuhad di Yogya Senin 23 September 2019.
Zuhad mengatakan, pihaknya sudah menyerukan kepada mahasiswa khususnya HMI cabang Yogya turun ke jalan dan segera mengonsolidasikan kekuatan mahasiswa dan masyarakat sipil.
Tak kurang 500 aktivis HMI diperkirakan turun ke jalan dalam aksi itu untuk menentang revisi undang-undang bermasalah, di antaranya Revisi Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana yang mengancam privasi dan demokrasi. Juga pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi lewat revisi UU KPK.
Terkait rencana aksi Gejayan, Zuhad menegaskan memang elemennya akan terlibat aksi tersebut melalui para aktivis yang tersebar di berbagai kampus. Kader HMI, ujar Zuhad, berbasis diantaranya seperti kampus Universitas Islam Indonesia (UII) , Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) juga Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
"Kami memang terlibat, tetapi tidak mengklaim sebagai yang menggerakkan. Kami terlibat ya iya, gerakan kerjanya. Karena menurut kami Pak Presiden dan DPR sudah sangat abai terhadap masukan dari publik," ujarnya.
Zuhad tak mempermasalahkan menjelang aksi itu muncul pernyataan surat edaran berbagai rektor sejumlah kampus yang isinya tidak terlibat dan tidak mau terlibat dalam aksi itu.
"Tak masalah tidak mau terlibat. Itu kan hak masing-masing untuk berekspresi berpendapat. Kalau kami berekspresi berpendapat dilarang ya nggak boleh begitu kita tolak undang-undang KUHP juga itu kan karena salah satunya," ujarnya.
Zuhad menegaskan aksi Gejayan Memanggil ini sudah dilandasi komitmen terhadap kebebasan berpendapat dan dilakukan lewat turun ke jalan secara damai untuk mengkampanyekan aspirasi itu.
"Kami ingin mengampanyekan penolakan sejumlah UU bermasalah ini ke publik supaya negara mendengar, supaya Pak Presiden dan DPR mendengar suara rakyat. Kenapa harus turun ke jalan lagi, karena ini genting karena kebanyakan RUU itu ditutup aspirasi publiknya," ujarnya.
Pantauan Tempo, situasi jalan Gejayan atau Affandi Yogya sendiri hingga tengah hari masih belum terlihat mahasiswa berunjuk rasa. Hanya saja di beberapa titik tampak petugas kepolisian mulai berjaga.