TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa pihak mendesak Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) atas hasil revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Pakar hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menilai unsur genting dan mendesak itu sudah terpenuhi untuk Jokowi menerbitkan perpu.
"Protes dan keributan masyarakat bisa diartikan sebagai kegentingan memaksa sehingga secara subyektif Presiden dapat menerbitkan perpu," kata Feri kepada Tempo, Ahad, 22 September 2019.
Desakan menerbitkan perpu ini menguat lantaran kritik publik terhadap revisi Undang-undang KPK dirasa diabaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah. Pada 17 September, hasil revisi atas UU Nomor 30 Tahun 2002 itu resmi disahkan di rapat paripurna DPR.
Feri mengatakan, sejak awal dibicarakan kembali hingga disahkan, revisi UU KPK menuai kritik dan protes publik. Prosesnya dinilai cacat karena tak transparan, kilat, dan senyap. Adapun secara substansi, hasil revisi UU KPK dianggap akan melemahkan lembaga antirasuah itu.
Menurut Feri, keributan dan protes masyarakat terhadap revisi UU KPK sampai saat ini bisa dianggap sebagai kegentingan yang memaksa untuk syarat menerbitkan perpu. Sebagai kepala negara Jokowi semestinya berupaya menyejukkan keadaan di masyarakat.
Jokowi, kata dia, tidak hanya kepala pemerintahan yang mengirim perwakilan untuk membahas UU. “Tapi sebagai kepala negara yang punya kewenangan untuk membuat sejuk keadaan dan mengembalikan fungsi lembaga negara sebagaimana fungsinya dan sesuai harapan rakyat."
Perpu itu juga untuk menyelamatkan KPK seperti misi awalnya ketika didirikan. Apalagi, Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Feri menyarankan Jokowi meniru langkah yang dilakukan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 2014, SBY menerbitkan perpu setelah DPR dan pemerintah sepakat mengesahkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Menuai penolakan dan kritik keras dari publik, SBY lantas menerbitkan dua perpu. Pertama adalah Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perpu ini sekaligus mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014.
Adapun yang kedua adalah Perpu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Inti perpu ini adalah menghapus tugas dan kewenangan DPRD memilih kepala daerah.