TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritik Rencana Undang Undang atau RUU Sumber Daya Air yang telah disahkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada 17 September lalu. Walhi menilai UU SDA anyar ini tetap membuka ruang komersialisasi dan swastanisasi bagi swasta. Padahal, karena swastanisasi air ini jugalah UU SDA Nomor 7 Tahun 2014 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015.
"Peluang swastanisasi sumberdaya air terselubung ini terbuka karena UU SDA menyerahkan pengaturan-pengaturan lebih lanjut pada peraturan pemerintah (PP)." Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi Boy Even Sembiring menyampaikannya melalui keterangan tertulis, Jumat, 20 September 2019.
Bou menjelaskan UU SDA baru ini merumuskan prioritas perizinan untuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Usaha Milik Desa. Pasal 46 UU SDA juga menyebut prinsip syarat tertentu dan ketat untuk pemberian perizinan kepada swasta.
Syarat tertentu dan ketat yang dimaksud dalam pasal 46 itu adalah tidak mengganggu, tidak mengesampingkan, dan tidak meniadakan hak rakyat atas air; pelindungan negara terhadap hak rakyat atas air; kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu hak asasi manusia; pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air bersifat mutlak.
Prioritas utama penggunaan sumber daya air untuk kegiatan usaha diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa; dan pemberian izin Penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat setelah prinsip sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e dipenuhi dan masih terdapat ketersediaan air. Mengingat keuangan negara yang diragukan untuk mengelola air secara mandiri, Walhi khawatir peran swasta masih akan dominan.
Walhi juga menyorot pengaturan Sistem Penyediaan Air Minum. Meskipun tidak membuka peluang swasta, dalam penjelasannya ketentuan ini dikecualikan untuk kategori air minum dalam kemasan. "Sehingga sama saja hal ini dapat dilakukan swasta secara mandiri atau skema PPP (public private partnership)," kata Boy.
Dalam pasal 50 UU SDA, tertulis bahwa izin penggunaan sumber daya air yang menghasilkan produk berupa air minum diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa penyelenggara Sistem Penyediaan Air Minum. Namun dalam penjelasannya, tertulis bahwa yang dimaksud dengan "air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari” adalah air minum yang diselenggarakan melalui sistem penyediaan air minum, tidak termasuk air minum dalam kemasan.
"Air minum dalam kemasan merupakan produk manufaktur untuk memenuhi segmen pasar demi kepraktisan dan gaya hidup." Demikian tertulis dalam buku penjelasan RUU Sumber Daya Air yang telah disahkan itu.