- Perzinaan (Pasal 417)
Menkumham menjelaskan perzinaan yang dimaksud dalam pasal ini dalam konteks nilai-nilai masyarakat Indonesia dan bukan masyarakat di kota-kota besar. Pasal perzinaan ini juga merupakan delik aduan. Adapun yang bisa menjadi pengadu adalah orang tua, istri, suami, atau anak. Pasal ini, kata Yasonna, juga tak terkait dengan perceraian.
Pasal perzinaan merupakan salah satu dari pasal-pasal kesusilaan yang ada dalam RKUHP. Keberadaannya dikritik karena negara dianggap terlalu mencampuri urusan privat warga negaranya.
- Kohabitasi atau kumpul kebo (Pasal 418)
Seperti pasal zina, pasal kumpul kebo ini juga dikritik karena negara dianggap terlalu masuk ke ranah privat. Dalam klarifikasinya, Yasonna hanya mengatakan apa yang sudah tertuang dalam pasal dan penjelasan, yakni bahwa pasal ini merupakan delik aduan. Pihak yang bisa menjadi pengadu adalah suami, istri, orang tua, anak, atau kepala desa sepanjang mendapatkan persetujuan tertulis dari empat pihak sebelumnya. Pengaduan juga bisa ditarik.
Pasal kohabitasi ini merupakan aturan baru yang tak ada dalam KUHP sebelumnya. Dalam ketentuannya, setiap orang yang melakukan kumpul kebo dapat dipidana penjara 6 bulan atau denda paling banyak kategori II (Rp 10 juta).
- Penggelandangan (Pasal 431)
Yasonna mempertanyakan mengapa pasal yang juga sudah ada dalam KUHP lawas ini tak dipersoalkan. Dalam kitab peninggalan Belanda itu, setiap gelandangan dapat dihukum dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Adapun dalam RKUHP, gelandangan diancam dengan pidana denda kategori I atau Rp 1 juta. Yasonna berdalih RKUHP tak merampas kemerdekaan lantaran pidana yang dikenakan hanya denda dan bukan kurungan.
Gelandangan, kata Yasonna, dapat pula dipidana alternatif seperti pengawasan atau kerja sosial. Mereka juga dapat diwajibkan mengikuti pelatihan kerja. Namun pidana alternatif dan tindakan ini tak ada dalam pasal maupun penjelasan.
- Aborsi (Pasal 469)
Dalam RKUHP, perempuan yang melakukan aborsi diancam hukuman penjara paling lama 4 tahun. Pasal ini dikritik karena dianggap abai terhadap perempuan korban perkosaan, serta dinilai diskriminatif karena membedakan perlakuan antara perempuan dan dokter yang menggugurkan kandungan.
Ancaman pidana dalam RKUHP ini lebih rendah dibanding KUHP. Dalam KUHP, ancaman pidana bagi perempuan yang melakukan aborsi adalah 12 tahun. Menurut Yasonna, jika menyangkut korban perkosaan atau ada indikasi medik untuk melakukan pengguguran, ketentuan ini dikecualikan. "Mekanisme mengacu pada UU Kesehatan," ujarnya.
Namun dalam Pasal 469-471 yang mengatur tentang aborsi, serta dalam Buku Penjelasan, tak ada ketentuan bahwa perempuan yang menggugurkan kandungan karena indikasi medik atau korban perkosaan dikecualikan dari hukuman. Yang ada, dokter yang menggugurkan kandungan karena indikasi medik atau korban perkosaan yang dikecualikan (Pasal 471).