TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengatakan munculnya pasal tindak pidana korupsi (tipikor) dalam Rancangan Undang-Undang Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), dimaksudkan agar membedakan berat hukuman bagi pelakunya.
Menurut dia, di RKUHP hukuman pidana korupsi oleh pejabat negara akan lebih berat. "Ini dimaksudkan supaya membedakan lebih berat hukuman kepada pejabat negara daripada orang yang tidak pejabat negara,” kata Yasonna saat konferensi pers di Kantor Kemenkumham, Jakarta Pusat, Jumat, 20 September 2019.
“Karena Pasal 2 dan 3 Tipikor mengancamkan hukuman lebih tinggi, setiap orang lebih tinggi dan ancaman minimum khusus bagi penyelenggara negara," ujar Yasonna. Menurut dia, pasal tipikor ini dimaksudkan agar hukuman bagi pejabat negara ketimbang rakyat biasa. Hal ini juga akan membuat berat hukuman akan spesifik dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
"Jadi, melindungi pelaku yang tidak memiliki peran besar dalam tindak pidana korupsi dan memberikan ancaman yang lebih berat kepada pelaku yang memegang peran dalam pelaksanaan korupsi," kata Yasonna.
Dimasukkannya tipikor dalam RUU KUHP ini sejak awal menuai kritik dari kelompok masyarakat. Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch Tama S. Langkun mengatakan, ketentuan tipikor dalam RKUHP ini sebenarnya membingungkan.
Menurut Tama, RKUHP tak jelas mengatur bagaimana kekhususan UU Tipikor. Hal ini dinilai akan menimbulkan kekacauan hukum nantinya. "Ketika ada norma-norma yang mirip, misalnya kerugian negara, mana yang akan dipakai? Secara prinsip yang pas ya lex specialis, tapi kan enggak ada jaminan karena di dalam RKUHP juga tak disebut kekhususan UU Tipikor," kata Tama kepada Tempo, Ahad, 15 September 2019.
Tak hanya pasal tipikor, belasan pasal lain juga dipermasalahkan oleh koalisi masyarakat sipil dan akademisi. Banyaknya protes terhadap perubahan ini membuat Presiden Joko Widodo meminta agar DPR menunda pengesahannya.