TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu korban terdampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Pekanbaru, Riau, Jhony Setiawan Mundung bercerita saban hari harus menggunakan alat bantu oksigen karena kabut asap yang pekat.
"Terasa kuat dan pekat itu jam 9 malam dan 12 malam, pekat sekali, itu makanya kami pakai oksigen bergantian," kata mantan Direktur Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Riau ini saat dihubungi, Jumat, 20 September 2019.
Tokoh pemberantasan korupsi majalah Tempo 2007 ini menceritakan ia, istri, dan tiga anaknya mesti tidur dalam satu ruangan berpendingin udara. Lapisan kain basah yang ditempelkan di ventilasi, kata dia, tak bisa menghalau masuknya asap ke dalam rumah.
Jhony mengatakan jerebu semakin terasa sesak terlebih ketika malam. Tidak adanya angin, membuat asap tak beranjak dari dalam rumahnya. "Asap gentayangan di depan rumah, dalam rumah, di kamar tidur, di WC," kata dia.
Karena itu, saat malam, ia dan keluarga mesti memakai tabung oksigen secara bergantian. Asap, kata dia, membuat dia dan keluarganya tak bisa tidur nyenyak.
Hampir setiap sejam sekali, kata dia, akan ada keluarganya yang terbangun gara-gara sesak nafas. Saat itulah, ia mesti memasangkan selang oksigen ke anggota keluarganya tersebut. "Jadi kami karena tadi malam sangat sesak nafas nah itu kita bergantian dengan istri saya anak anak saya," kata dia.
Asap yang diakibatkan kebakaran hutan dan lahan di Riau sudah membuat kualitas udara masuk kategori berbahaya, khususnya di wilayah Pekanbaru.
Merujuk catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, per Sabtu, 14 Maret 2019, indeks standar pencemar udara (ISPU) tertinggi di wilayah Pekanbaru 269, Dumai 170, Rohan Hilir 141, Siak 125, Bengkalis 121, dan Kampar 113. Jhony mengatakan ISPU di kawasan Pekanbaru bahkan telah mencapai 400. Kualitas udara yang diukur dengan ISPU memiliki kategori baik (0 - 50), sedang (51 - 100), tidak sehat (101 - 199), sangat tidak sehat (200 - 299), dan berbahaya (lebih dari 300).