TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak DPR menunda Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP.
Komisioner Komnas Perempuan Azriana mengatakan, lembaganya menyesalkan proses pembahasan RKUHP yang cenderung tertutup dalam beberapa hari terakhir menjelang pengesahan. Ia juga kecewa karena ada perubahan substansi atau penambahan rumusan terhadap sejumlah pasal yang sebelumnya sudah relatif baik.
"Perubahan substansi dan penambahan rumusan yang terjadi justru menjadikan rumusan pasal-pasal yang sudah relatif baik menjadi multi tafsir dan menjauh dari prinsip-prinsip konstitusi dan HAM," ujar Azriana lewat keterangan tertulis pada Jumat, 20 September 2019.
Jika mencermati draf RUU KUHP per 15 September 2019 dan dikaji dengan UUD 1945 Negara Republik Indonesia dan Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan serta payung hukum lainnya, Komnas Perempuan menilai sejumlah pasal yang ada dalam RKUHP bertentangan dengan UUD dan UU tersebut.
"Jika diimplementasikan akan menimbulkan overkriminalisasi terhadap kelompok rentan, dalam hal ini anak, perempuan, kelompok miskin, orang dengan disabilitas, masyarakat hukum adat, penghayat kepercayaan, dsb," ujar dia.
Azriana merinci, pasal yang dimaksud di antaranya; Pasal 412 tentang Kesusilaan di Muka Umum. Penjelasan frasa “di muka umum” dalam pasal ini dinilai berpotensi melindungi pihak-pihak yang memiliki privilege untuk menutupi tindak pidana yang mereka lakukan, namun merentankan kelompok miskin karena tempat tinggal dan lokus mobilitasnya yang mudah dilihat, didatangi dan disaksikan oleh pihak-pihak lain.
Selanjutnya, yang disoroti adalah Pasal 414-416 tentang Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Pengguguran Kandungan. "Rumusan penjelasan pada pasal ini berpotensi menghalangi inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam edukasi kesehatan reproduksi di masyarakat, serta program keluarga berencana," ujar Azriana.
Selanjutnya, Pasal 419 tentang Hidup Bersama. Dalam draft terbaru ada frasa “pengaduan dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya”. Pasal ini dinilai membuka peluang masyarakat luas ataupun pihak ketiga terlibat dalam pemidanaan.
Selanjutnya, Pasal 470-472 tentang Pengguguran Kandungan, yang akan mempidana setiap perempuan yang menghentikan kehamilan.
Pasal 470 ini dinilai tidak sinkron dengan Undang-Undang tentang Kesehatan dan komitmen SDGs untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan. Karena kehamilan tidak diinginkan menyumbang 70 persen angka kematian ibu. Pasal 472 bahkan akan mempidanakan perempuan korban kekerasan seksual atau perempuan lainnya menghentikan kehamilan karena alasan darurat medis.
"Padahal, pasal 31 PP 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi membenarkan tindakan aborsi yang dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan," ujar dia.
Selanjutnya, Pasal 467 tentang Larangan seorang Ibu melakukan perampasan nyawa terhadap anak yang baru dilahirkan (Infantisida). Rumusan pasal ini dinilai diskriminatif terhadap perempuan karena mengasumsikan hanya ibu yang takut kelahiran anak diketahui oleh orang (dalam konteks kelahiran anak di luar nikah).
"Padahal fakta di masyarakat laki-laki yang menyebabkan kehamilan juga mengalami ketakutan. Karena asumsi yang diskriminatif tersebut potensi terbesar untuk dikriminalkan dalam pasal ini adalah perempuan," ujar Azriana.
Atas semua pasal tersebut, Komnas Perempuan mendesak agar DPR menunda pengesahan revisi KUHP dan membuka ruang dialog membahas revisi undang-undang ini.