Salah satu poin yang dikritik KPA dalam bab ini ialah ketidakjelasan subyek penerima manfaat reforma agraria. Dalam pasal 65, disebutkan penerima tanah obyek reforma agraria (TORA) terdiri dari perorangan, kelompok masyarakat, badan hukum yang dibentuk oleh penerima TORA, badan usaha milik desa, atau bentuk lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Menurut Dewi, reforma agraria harus menyasar kelompok petani, nelayan, masyarakat adat, dan masyarakat miskin kota. Sedangkan dalam Pasal 65 ayat (2), hanya disebutkan bahwa penerima TORA perorangan harus memenuhi persyaratan sebagai warga negara Indonesia dan berusia paling rendah 18 tahun, serta bertempat tinggal di wilayah TORA atau bersedia tinggal di wilayah TORA.
Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat Arif Wibowo juga menilai RUU Pertanahan ini perlu dikaji kembali. Arif menilai, RUU ini bahkan tak lebih maju ketimbang Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
"Justru Perpres itu lebih maju mengatur subyek penerima hak atas tanah. Fraksi PDIP berpandangan ditunda, kami serahkan ke DPR periode berikutnya untuk jadi prioritas 2020," kata Arif kepada Tempo, Senin, 16 September lalu.
Dalam Perpres 86 Tahun 2018, subyek reforma agraria di antaranya petani gurem, petani penggarap, buruh tani, nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan buruh, penggarap lahan, petambak garam kecil, penggarap tambak garam, guru honorer yang belum berstatus ASN, buruh, pedagang kecil, PNS paling tinggi golongan IIIA, anggota TNI/Polri yang berpangkat letnan dua atau inspektur dua polisi atau setingkat itu yang tidak memiliki tanah.
Dewi Kartika juga menilai Perpres ini lebih jelas mengatur subyek penerima manfaat reforma agraria. Meskipun di sisi lain KPA juga mengkritik disertakannya PNS golongan IIIA ke bawah dan anggota TNI/Polri dalam daftar tersebut. "Karena kalau dikembalikan ke UUPA (Nomor 5 Tahun 1960) reforma agraria itu ditujukan ke petani miskin," kata dia.