TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dan DPR telah mengesahkan perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau revisi UU KPK. Padahal elemen masyarakat sudah banyak yang menolak perubahan undang-undang itu.
Pemerintah dan Dewan mengklaim revisi ini untuk menguatkan kelembagaan KPK, bukan melemahkan seperti yang menjadi anggapan banyak pihak yang menolak revisi.
"Tidak ada sedikitpun pelemahan, justru penyempurnaan," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 18 September 2019.
Namun apakah benar revisi UU KPK menguatkan kelembagaan lembaga antikorupsi tersebut? Sejumlah pasal dalam UU hasil revisi justru berpotensi membuat kelembagaan KPK dan upaya pemberantasan korupsi makin lemah. Berikut rinciannya:
1. Korupsi kini dianggap sebagai perkara biasa, bukan extraordinary crime
Dalam Pasal 46 UU KPK yang lama disebutkan bahwa pemeriksaan tersangka oleh KPK merujuk pada ketentuan UU KPK. Namun dalam UU baru, pasal itu diubah dan pemeriksaan tersangka merujuk pada ketentuan yang ada di kitab hukum acara pidana.
Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, perubahan itu menyebabkan UU KPK kehilangan status sebagai aturan yang berlaku khusus. Dampaknya, tindak pidana korupsi hukum acaranya sama dengan tindak pidana biasa. "Korupsi menjadi dianggap perkara biasa, bukan extraordinary lagi," kata Fickar.
2. Kewenangan pimpinan KPK dibatasi
Dalam Pasal 21 ayat (4) dan (6) UU KPK yang lama, pimpinan KPK merupakan penanggung jawab tertinggi yang berwenang menerbitkan surat perintah penyelidikan, penyidikan, penahanan, penuntutan, dan penangkapan. Namun dalam UU baru kewenangan pimpinan sebagai penanggung jawab tertinggi, penyidik, dan penuntut umum dihapus. Di UU yang baru, hampir semua kewenangan pimpinan KPK diambil alih oleh dewan pengawas.
3. Kewenangan menggeledah, menyita, dan menyadap dipangkas
Merujuk Pasal 47 UU KPK yang baru, kewenangan menggeledah dan menyita harus melalui izin dewan pengawas. Pasal 12B mengatur penyadapan juga harus melalui izin tertulis dewan pengawas. Jangka waktu penyadapan dibatasi hanya selama 1x6 bulan dan dapat diperpanjang 1x6 bulan.