TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dan DPR telah merampungkan revisi terhadap Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK, Undang-undang Pemasyarakatan, dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Menuai kritik, revisi ketiga Undang-undang ini pun dianggap akan membatasi hak-hak dasar publik dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Padahal, upaya pemberantasan korupsi menjadi salah satu roh reformasi 1998, yang menandai berakhirnya era Orde Baru di Indonesia.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor mengatakan perubahan sejumlah UU saat ini berpotensi mengembalikan Indonesia ke masa Orde Baru.
"Spiritnya melawan konstitusi, prosesnya tidak demokratis. Seperti ingin kembali ke Orde Baru," kata Firman dikutip dari Koran Tempo hari ini, Kamis, 19 September 2019.
Menurut Firman, lewat perubahan kedua Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan DPR tiga hari lalu, pemerintah seakan-akan ingin mengontrol kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Dia menyorot Pasal 1 ayat (3) yang mengatur KPK sebagai lembaga eksekutif dan Pasal 1 ayat (6) yang mengatur status pegawai KPK harus aparatur sipil negara (ASN). Firman menilai dua ketentuan ini berpotensi membuat KPK tak lagi independen.
Berikutnya, ada revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Meski menuai kritik karena substansi yang bermasalah dan proses tak transparan, DPR dan pemerintah sepakat akan mengesahkan RKUHP tersebut.
Salah satu pasal bermasalah dalam RKUHP adalah pasal tindak pidana korupsi (tipikor). DPR dan pemerintah berkukuh memasukkan pasal tipikor sebagai core crime.
Dalam RKUHP, ancaman pidana dan denda bagi koruptor jauh lebih ringan ketimbang yang sudah diatur dalam UU Tipikor. Misalnya pasal terkait perbuatan memperkaya diri. Dalam UU Tipikor, perbuatan ini diancam pidana penjara minimum empat tahun dan denda Rp 200 juta. Dalam RKUHP, ancaman minimumnya menjadi lebih ringan yakni dua tahun penjara dan denda Rp 10 juta.
Selain revisi UU KPK, ada pula perubahan terhadap Undang-undang Pemasyarakatan yang mempermudah ketentuan bebas bersyarat bagi narapidana korupsi. Hasil revisi UU PAS ini akan membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
PP itu mengatur salah satu persyaratan remisi bagi narapidana korupsi adalah kesediaan bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar tindak pidana yang dilakukannya, alias menjadi justice collaborator.
Peneliti Indonesia Corruption Watch Tama Satrya Langkun menilai ketiga aturan ini seperti dibuat sepaket untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tak cuma soal tiga UU tersebut, Tama juga menyinggung proses seleksi calon pimpinan KPK 2019-2023.
Selain meloloskan calon yang dianggap bermasalah integritasnya, calon-calon terpilih juga diragukan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Mereka umumnya menyatakan akan berfokus pada tindakan pencegahan ketimbang penindakan.
"Saya melihat ini menjadi paket yang membuat penanganan korupsi itu menjadi kejahatan yang tidak lagi prioritas dalam penanganan perkara," kata dia.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | KORAN TEMPO