TEMPO.CO, Jakarta-Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Andalas menyindir cepatnya pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (revisi UU KPK) oleh DPR. Peneliti Pusako Charles Simabura mengatakan DPR patut diberikan penghargaan oleh Museum Rekor Dunia dan Museum Rekor Indonesia.
"Saya mengusulkan kepada Museum Rekor Indonesia, jika perlu Guinness World of Record untuk memberikan penghargaan sebagai UU (revisi UU KPK) tercepat," kata Charles dalam diskusi, di Tebet, Jakarta Selatan, Rabu, 18 September 2019.
Ia mengusulkan kepada Direktur MURI, Jaya Suprana untuk memberikan rekor kepada DPR dan pemerintah karena pengesahan RUU KPK sebagai UU tercepat sepanjang sejarah legislasi Indonesia. "Sudah tidak ada bantahan lagi bahwa ini suatu proses yang sangat cacat formal, bagi kami ini inkonstitusional," ujar dia.
Berdasarkan catatan Tempo, sejak munculnya usul pembahasan usul revisi UU KPK hingga disahkan dalam paripurna, perjalanan revisi ini mulus dan berlangsung kilat, pembahasannya hanya memakan waktu 13 hari.
Awalnya, rapat paripurna menyepakati UU KPK sebagai RUU inisiatif pada Kamis, 5 September 2019. Agenda itu tiba-tiba muncul tanpa gembar-gembor pembahasan kembali revisi UU KPK, sejak ditolak keras pada 2017 silam.
Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Badan Legislasi DPR, Irmadi Lubis mengakui, sejak awal rapat Baleg membahas usul revisi UU KPK ini memang dadakan. "Rapat di Baleg mendadak. Rapatnya tertutup," ujar Irmadi, beberapa waktu lalu.
Setelah rapat Baleg digelar, rapat Bamus dan rapat paripurna secara maraton digelar. Pembahasan revisi Undang-Undang KPK di Badan Legislasi mulai digeber sejak Kamis pekan lalu. Rapat perdana bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly digelar untuk mendengarkan pandangan pemerintah. Rapat itu terkesan mendadak dan ditutup-tutupi. Awak media baru mengetahui adanya rapat tersebut sepuluh menit sebelum dimulai.
Pembahasan di Badan Legislasi kemudian dilanjutkan keesokan harinya. Dalam rapat tertutup itu, pemerintah dan DPR menyepakati 34 poin revisi. Sejumlah pasal yang diloloskan dianggap melemahkan KPK. Di antaranya soal penyebutan KPK sebagai lembaga eksekutif, pengalihan status pegawai KPK menjadi aparat sipil negara, dan
penyadapan yang harus dilakukan melalui izin dewan pengawas.
Dua hari lalu, Badan Legislasi kembali mengebut pembahasan revisi undang-undang komisi antirasuah. Rapat yang kembali digelar tertutup itu merampungkan pembahasan seluruh pasal. Secara umum, DPR menyatakan sepakat dengan semua Daftar Inventarisasi Masalah yang diajukan pemerintah.
Pada akhirnya, revisi UU KPK dibawa ke rapat paripurna, kemarin, untuk disahkan menjadi undang-undang. Wajah para anggota Komisi Hukum tampak sumringah usai undang-undang tersebut disahkan. Sementara itu, sejumlah pegiat antikorupsi menggelar aksi simbolik pemakaman di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Selasa malam, 17 September 2019.
Pegawai KPK, pegiat anti-korupsi, hingga mahasiswa Universitas Indonesia yang ikut dalam aksi, terlihat menangis ketika nisan bertuliskan "RIP KPK 2002-2019" dibawa ke lobby gedung untuk ditaburi bunga. Di akhir aksi, sejumlah orang terlihat saling berpelukan dan menangis.
Puisi Widji Thukul berjudul Bunga dan Tembok menggema di tengah isak tangis tersebut. "Seumpama bunga, kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh. Seumpama bunga, kami adalah yang tak kau hendaki adanya"
DEWI NURITA