TEMPO.CO, Jakarta - Hampir seratus demonstran yang bergabung dalam Jaringan Anti Korupsi Yogyakarta menggelar aksi melawan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui revisi UU KPK yang telah disahkan pada Selasa, 17 September 2019.
Mereka kecewa dengan Presiden Joko Widodo yang tunduk pada pelemahan wewenang lembaga antirasuah tersebut hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengetok RUU tersebut.
Demonstran datang dari berbagai organisasi mahasiswa sejumlah universitas, organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu-isu korupsi, dan organisasi profesi jurnalis.
Aksi yang dimotori Pusat Kajian Antikorupsi atau Pukat UGM ini dihadiri Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Himpunan Mahasiswa Islam, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Indonesian Court Monitoring, dan Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta. Demonstran membentangkan beragam spanduk.
Beberapa di antaranya bertuliskan dari petugas partai ke petugas koruptor, KPK lemah yang senang koruptor, dan koruptor maunya KPK bubar. Pegiat Indonesia Court Monitoring, Tri Wahyu menyatakan kekecewaannya. “KPK kehilangan independensi karena di bawah bayang-bayang Dewan Pengawas yang dipilih oleh presiden,” kata Wahyu.
Demonstran menggelar aksinya di Tugu yang menjadi simbol Kota Yogyakarta menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka menaburkan bunga di sekitar poster bertuliskan KPK harus mati yang dibingkai layaknya foto orang mati.
Selain mahasiswa dan aktivis, dosen sejumlah kampus di Yogyakarta juga terlihat bergabung dalam aksi tersebut. Mereka yang terlibat di antaranya dosen S2 Ilmu Religi dan Budaya Sanata Dharma Stanislaus Sunardi dan Katrin Bandel.
Stanislaus berorasi di hadapan demonstran dan menyampaikan kekecewaannya kepada Presiden Jokowi. Dia melihat Revisi UU KPK yang disahkan ini sebagai bentuk persekongkolan koruptor. “Presiden yang telah kita pilih kali ini tidak berpihak,” kata dia.
Reformasi melahirkan KPK, lembaga anti-rasuah yang tumbuh dan berkembang bersama demokrasi dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Revisi UU KPK isinya melemahkan dan mempreteli kewenangan KPK. Kemudian status pegawai KPK menjadi ASN.
KPK kehilangan independensi karena di bawah bayang-bayang Dewan Pengawas yang dipilih presiden. Selanjutnya upaya penindakan melalui operasi tangkap tangan sulit dilakukan. “KPK akan tumpul dan sekadar menjadi alat politik,” kata Wahyu dari Indonesian Court Monitoring.
Menurut dua, perubahan UU KPK bentuk penghianatan amanat reformasi. Jaringan Anti Korupsi Yogyakarta tetap menolak pengesahan UU KPK. Mereka akan mengambil jalan konstitusional, yakni uji materi di Mahkamah Konstitusi.