TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu poin yang diubah dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK yang baru disahkan DPR adalah Lembaga Antirasuah masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
"Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun," ujar Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas membacakan pasal 3 UU KPK setelah perubahan, di Kompleks Parlemen, Senayan pada Selasa, 17 September 2019.
Poin tersebut merupakan perubahan yang dilakukan untuk menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017. Dalam putusan MK itu, kata Supratman, KPK disebut sebagai bagian dari cabang pemerintah.
Dalam Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 itu disebutkan, dasar hukum MK menyatakan KPK bagian dari eksekutif dan bisa dikenakan hak angket karena lembaga ini melakukan fungsi eksekutif, seperti halnya lembaga kepolisian dan kejaksaan. Dengan memiliki fungsi itu, maka, menurut putusan tersebut, KPK bisa dikenakan hak angket sebagai bagian mekanisme checks and balances.
Anggota Baleg Firman Soebagyo mengatakan, ketika organisasi KPK sekarang sudah menjadi rumpun eksekutif, maka sudah menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara membentuk dewan pengawas KPK.
"Jadi, ketika sudah mengangkut hak-hak eksekutif, kita serahkan saja kepada pemerintah, menjadi hak Presiden," ujar Firman.
Kendati demikian, lanjut Firman, menyusul kekhawatiran jika semua diserahkan kepada Presiden akan terjadi sentralisasi kekuasaan, maka DPR masih membuka opsi dibentuk Pansel.
"Nanti Pansel mengusulkan nama kepada Presiden, kemudian ditentukan 10 orang, kemudian nama-nama itu dikonsultasikan kepada DPR," ujar Firman.