Myrna A. Safitri
(Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi,
Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut)
INFO NASIONAL — Kebakaran lahan gambut pada musim kemarau tahun ini, menimbulkan perdebatan perihal penyulut kebakaran dan asap. Seperti masa sebelumnya, ada pendapat yang menyatakan bahwa korporasi adalah pelaku utama dan terbesar, sementara yang lain menilai petani sebagai pemicu. Kebakaran, baik karena kelalaian maupun kesengajaan tentulah ada penyebabnya.
Upaya pengawasan disertai dengan penegakan hukum lebih pantas dialamatkan kepada korporasi. Namun tidak sesederhana itu terhadap para petani yang betul-betul ada dan hidup di lahan gambut. Masih ada hal lain yang perlu diperhatikan. Penegakan hukum semata akan menjadikan pengendalian kebakaran bersifat koersif. Sedangkan kepada para petani juga diperlukan pengendalian yang sifatnya persuasif.
Baca Juga:
Badan Restorasi Gambut (BRG) sejak 2018 memfasilitasi Sekolah Lapang Petani Gambut. Salah satu materi adalah teknologi sederhana untuk pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB). Sekolah Lapang ini adalah respons untuk menjawab pertanyaan petani “Jika tidak boleh membakar, lantas bagaimana kami hidup?”
Tujuan akhir dari Sekolah Lapang ini adalah membangun komunitas petani gambut yang mandiri dan bertanggung jawab. PLTB hanyalah medium. Lebih dari itu adalah memperkenalkan pertanian yang bijak, yang didasari nilai-nilai harmoni pada alam dan solidaritas kuat antarpetani.
Sekolah Lapang ini mengakumulasi pengetahuan para petani. Inovasi pembenahan tanah dan pupuk hayati yang digunakan dalam pertanian tanpa bakar, seluruhnya berasal dari para petani dengan dukungan aktivis agroekologi. Awalnya, secara terpisah mereka melakukan uji coba sendiri di lahan masing-masing berbagai cara melakukan pertanian tanpa membakar. Dalam wadah Sekolah Lapang, mereka dipertemukan, saling menguji, dan menyempurnakan metodenya. Lalu, para petani kader yang jumlahnya ratusan melakukan uji coba langsung di demplot-demplot mereka.
Baca Juga:
Perubahan adalah proses persuasif. Demikian pula dengan perilaku petani. Diperlukan waktu dan bukti untuk mendorong para petani berubah. Keberadaan demplot PLTB bak laboratorium bagi petani untuk mengasah pengetahuan ini. Mereka mencoba, gagal, mencoba dan akhirnya menemukan metode yang sesuai dengan kondisi lahan gambutnya.
Inilah yang dialami banyak kader Sekolah Lapang, seperti Rohmat Suprihatin dari Desa Karang Agung, Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Demplot agrosilvofishery kelompok taninya diisi dengan kolam ikan, pohon, dan sayur-mayur. Dari satu hektare kini lahan kelompok berkembang 10 hektare. Semua dilakukan swadaya. Hasilnya, dusun ini sekarang jadi pemasok sayur-mayur ke desa lain di sekitarnya serta kepada pegawai-pegawai perusahaan sawit yang mengelilingi desa.
Di Riau, petani lain bernama Badri dari Desa Buantan Lestari Siak di Riau, saat ini piawai sebagai pengajar PLTB dan pertanian hayati kepada berbagai desa di Indonesia, bahkan kepada mahasiswa. Badri mempraktikkan PLTB dengan sungguh-sungguh. Mempelajari dan terus berinovasi. Mengagumkan lagi yang dilakukan Theti, perempuan Dayak Ngaju dari Desa Mantangai Hilir di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Theti berhasil menggalang para perempuan untuk memanfaatkan pekarangan dan lahan gambut di sekitar desa untuk bertanam sayur yang utamanya untuk kebutuhan rumah tangga.
Masih banyak lagi kisah inspiratif dari para petani gambut ini. Mereka terus bekerja dan memperbaiki diri. Tentu ini jadi sisi yang membanggakan di tengah pesimisme banyak pihak terhadap masa depan pertanian di negeri ini. Lebih khusus terhadap nasib para petani di lahan gambut jika pembakaran sudah tak mungkin bisa dilakukan. Kita beruntung memiliki para petani seperti ini. (*)