TEMPO.CO, Jakarta-Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menyatakan penambahan jumlah pimpinan MPR menjadi 10 orang lewat revisi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2019 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah atau UU MD3 punya kemungkinan terburuk.
Menurut PSHK, penambahan itu bisa jadi berujung pada perubahan Undang-Undang Dasar atau amandemen konstitusi. "Apa muara dari penambahan pimpinan MPR menjadi 10 orang ini? Tentu adalah perubahan UUD atau amandemen kosntitusi," kata peneliti PSHK Agil Oktaryal di Jakarta, Ahad, 15 September 2019.
Menurut Agil amandemen konstitusi itu bakal dibarengi dengan menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara. Implikasi dari dua hal itu ialah menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang bersifat mengatur. Ujung dari perubahan besar itu, kata dia, bisa jadi presiden tak lagi dipilih secara langsung, melainkan oleh MPR. "Pemakzulan juga bisa jadi mutlak di tangan MPR nantinya," kata dia.
Jika sudah begitu, kata dia, demokrasi bisa terancam. Sebab, presiden tak lagi bertanggung jawab terhadap rakyat, melainkan terhadap MPR. "Sementara rakyat akan semakin terbuang karena semua program ditentukan MPR, ini kejahatan legislasi yang dilakukan sekarang," kata dia.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah menyepakati rancangan revisi UU MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3). Rancangan revisi UU MD3 bakal segera disahkan dalam sidang paripurna DPR. Keputusan soal kesepakatan revisi UU MD3 itu ditetapkan lewat rapat Panja UU MD3 bersama pemerintah yang diwakili Mendagri Tjahjo Kumolo pada Jumat, 13 September 2019.