TEMPO.CO, Jakarta - Putri Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Anita Hayatunnufus Rahman, mengatakan menilai penolakan dan pembelaan terhadap perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Revisi UU KPK) merupakan hak setiap orang. Namun jika diutarakan dengan kerusuhan, baginya hal itu sudah keterlaluan.
"Kalau perilaku itu dibiarkan itu menyedihkan. Apakah memang kita tidak punya batasan untuk menegaskan hal-hal itu akan sangat mengancam demokrasi kita?" kata Anita di Jakarta pada Ahad, 15 September 2019.
Bagi Anita, kekerasan, pengerusakan, dan pembakaran yang dilakukan massa di gedung KPK justru mencederai demokrasi. "Dan itu jangka panjang mencederai demokrasi kita. Ini baru barang yang dirusak. Kapan ini akan terjadi pada manusia?" katanya.
Anita berharap, jika memang ada yang ingin mendukung RUU KPK, tak perlu ada kekerasan. Semua pihak harus ingat bahwa dengan kekerasan, justru akan berdampak panjang terhadap peningkatan penggunaan kekerasan dalam menyuarakan aspirasi.
Sebelumnya, pada Jumat, 13 September 2019, unjuk rasa di KPK berujung ricuh. Massa yang mendukung revisi menuntut KPK menerima calon pimpinan periode 2019-2023 yang telah dipilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Serta menuntut KPK agar tak mempermasalahkan revisi UU KPK.
Massa kemudian merusak sejumlah karangan bunga berisi penolakan revisi UU KPK. Mereka juga menurunkan kain hitam yang digunakan untuk menutup tulisan serta lambang KPK yang dipasang oleh pegawai dan disaksikan pimpinan KPK beberapa hari lalu.