TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Kesehatan DPR RI, Nova Riyanti Yusuf, meminta pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua lebih menyoroti masalah kesehatan jiwa. Menurut Nova, yang juga merupakan psikiater, isu mengenai masalah kejiwaan dan mental sudah memasuki masa kritis karena sudah menjangkit anak-anak muda di Indonesia. Sayang berbagai program terkait kesehatan jiwa di Indonesia sampai saat ini belum menjadi prioritas.
Nova mengingatkan bahwa saat ini Indonesia ingin memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. "Berkualitas harus secara fisik dan intelegensi serta kejiwaannya, itu kalau kita mau kejar generasi emas 2045," kata Nova pada peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia di forum Havard Club Indonesia, Jakarta pada Selasa 10 September 2019.
Sebelumnya, Badan Kesehatan Dunia atau WHO memperkirakan ada lebih dari 800 ribu orang di dunia meninggal karena bunuh diri, atau 1 kematian setiap 40 detik.
Masalah kesehatan mental pun memberikan kerugian secara ekonomi. Menurut data World Economic Forum 2016, kerugian materiil yang dialami Indonesia akibat kesehatan mental berada di urutan kedua setelah jumlah kerugian akibat penyakit kardiovaskular.
Indonesia, kata Nova, juga membutuhkan visi kesehatan yang adaptif dan komprehensif mencakup hingga kesehatan kejiwaan. Salah satu tindakan yang bisa dilakukan pemerintah ke depan adalah membuat peraturan turunan dari Undang Undang Kejiwaan yang sudah ada sejak tahun 20014. "Undang-undangnya sudah ada, tapi sayang sampai saat ini tidak ada peraturan turunannya seperti Peraturan Menteri Sosial atau Peraturan Menteri Kesehatan," katanya.
Baca Juga:
Dalam disertasinya berjudul 'Deteksi Dini Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Remaja di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/ Sederajat di DKI Jakarta', Nova menyoroti tingkat bunuh diri di kalangan remaja. Hasilnya, siswa di Sekolah Menengah Kejuruan dinilainya rentan terhadap gangguan emosional. Menurutnya, rata-rata siswa SMK memiliki penyakit yang cukup serius seperti batuk darah. "Siswa SMK rata-rata bangun jam empat pagi, lalu berangkat ke sekolah dan pulang bisa jam tujuh malam. Kondisi itu menyebabkan mereka berisiko mengalami gangguan emosional dua kali dibanding siswa SMA," katanya.
Kondisi ini, kata Nova, perlu menjadi perhatian karena berkali-kali pemerintah bahkan mengatakan akan fokus mengembangkan pendidikan vokasi. "Pendidikan vokasi katanya akan digempar-gempurkan, namun saat ini siswa SMK rentan terhadap gangguan kejiwaan. Bagaimana ini," katanya.
Alumni T.H. Chan School of Public Health 2013-2014, Nurul Luntungan menambahkan bahwa visi kesehatan Indonesia harus diiringi oleh komitmen dan kepemimpinan yang tegas. Salah satu yang menurutnya bisa dicontoh dari beberapa negara maju adalah penyediaan psikolog di kampus atau sekolah. "Pengalaman saya belajar di luar negeri, sangat mudah mengakses psikolog bila mengalami stres saat belajar. Namun di Indonesia stigma butuh psikolog itu masih ada. Akibatnya orang malu datang ke psikolog," katanya.