TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Luki Hermawan mengatakan anak buahnya kesulitan masuk ke asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan 10, Surabaya. Kedatangan polisi ke asrama itu untuk menindaklanjuti kasus pelemparan empat ekor ular pada Senin subuh kemarin, 9 September 2019. Menurut Luki, polisi tidak bisa masuk karena ditolak oleh penghuni asrama.
Luki pun belum dapat memastikan kebenaran kejadian pelemparan ular itu lantaran tak ada yang mau diklarifikasi. “Kami masih menyelidiki kasus itu, tapi kami tidak bisa masuk untuk olah TKP karena tidak diizinkan (oleh mahasiswa),” kata Luki di Markas Polda Jawa Timur, Surabaya, Selasa, 10 September 2019.
Luki titip pesan kepada awak media yang bisa masuk ke dalam asrama mahasiswa Papua agar menyampaikan ke penghuni bahwa polisi ingin datang untuk olah TKP. Pada prinsipnya, kata Luki, polisi akan mengusut bila ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
“Dari awal kasus ini terjadi pada 16 Agustus, kami sudah buktikan tanpa pandang bulu. Masalah penghinaan sedang dalam proses, masalah rasis, masalah provokasi, masalah hoaks, kami proses semuanya. Yang penting kami bisa olah TKP,” kata dia.
Mahasiswa Papua pun, kata Luki, belum melaporkan kejadian pelemparan ular itu pada polisi sehingga makin menyulitkan pengusutan. Tak hanya kasus pelemparan ular, bahkan saat diminta Polda Jawa Timur untuk jadi saksi kasus hoaks dan rasisme pun, ujar Luki, mahasiswa Papua tidak mau datang.
“Kami masih berharap saudara-saudara kami yang ada di wisma (asrama) mari bersama-sama menaati hukum yang berlaku agar kami bisa menangani sesuai prosedur dan masalahnya segera selesai,” tutur Luki.
Sebelumnya pada Senin pagi sekitar pukul 04.19 dua buah karung berisi ular dilemparkan ke dalam asrama mahasiswa Papua. Satu karung berisi ular diduga jenis piton seberat 15-20 kilogram, adapun karung satunya berisi tiga ekor ular. Satu ular berhasil ditangkap mahasiswa, adapun tiga lainnya lari ke selokan.