TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki membantah pernah menyetujui revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada 2015. Hal ini diungkapkan Ruki sehubungan dengan pernyataan eks Ketua KPK Abraham Samad menyebut usulan adanya revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002, muncul di era kepemimpinan Ruki.
Ruki menjelaskan, surat yang ditandatangani lima pimpinan termasuk dirinya ketika itu, bukanlah usulan kepada pemerintah untuk merevisi UU KPK. Surat itu merupakan jawaban pimpinan KPK atas surat Presiden Joko Widodo atau Jokowi melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang meminta pendapat dan pandangan KPK mengenai revisi UU KPK yang terus bergulir di DPR. Dalam surat jawaban itupun, kata Ruki, pimpinan KPK sepakat menolak adanya revisi. "(Surat itu) kami tandatangani berlima. Tidak cuma Taufieq sendiri, tapi lima pimpinan,” ujar Ruki saat dihubungi Tempo pada Ahad, 8 September 2019.
Apa jawaban Ruki cs terhadap surat itu? “Pertama pada prinsipnya kami pimpinan KPK tidak setuju keinginan beberapa anggota DPR untuk merevisi UU KPK."
Ruki mengatakan pimpinan KPK ketika itu menyarankan agar pemerintah dan DPR merevisi dan harmonisasi UU nomor 31 tahun 1999 tentang Tipikor, KUHP, dan KUHAP sebelum merevisi UU KPK. "Jadi sebelum UU nomor 30 tahun 2002 diubah, pemerintah ubah ini (UU nomor 31/1999, KUHP, dan KUHAP) dulu," ujar dia.
Ketika itu, ujar Ruki, poin revisi yang diajukan oleh DPR sama dengan poin revisi UU KPK yang sudah disetujui menjadi RUU inisiatif saat ini. Poin pertama, ujar Ruki, DPR menyebut revisi adalah dalam rangka memperkuat kelembagaan KPK, bukan untuk melemahkan KPK.
Poin kedua, lanjut dia, penguatan kelembagaan itu, berfokus kepada pengaturan beberapa ketentuan dalam UU KPK, yaitu: kewenangan KPK dalam menyadap dan merekam, membentuk Dewan Pengawas KPK, kewenangan KPK dalam mengeluarkan Surat penghentian penyidikan dan penuntutan atau SP3, dan kewenangan KPK dalam mengangkat Penyelidik, Penyidik, dan Penuntut Umum . "Itu ada di notulen rapat dengar pendapat antara KPK dan DPR pada November 2015," ujar Ruki.