TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat sekaligus pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyarankan agar Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan terbuka tentang sikapnya mengenai pembahasan revisi UU KPK yang diusulkan DPR. "Penting bagi presiden untuk mengatakan bahwa dia mendukung KPK yang sekarang ini yang kuat dan tidak mau melemahkan KPK," kata Bivitri, Sabtu, 7 September 2019.
Sikap dan keputusan presiden bisa menghentikan proses legislasi revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Caranya adalah dengan menolak membahas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tidak mengirimkan surat presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
"Presiden bisa menolak membahas (revisi UU KPK) dengan cara tidak mengirimkan surat presiden.” Atau mengirim surat Presiden yang menyatakan tidak mau membahas revisi UU KPK.
Bivitri merujuk pada Undang-undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 1 yang menyebut bahwa kekuasaan untuk membentuk UU ada di DPR. Kemudian di pasal 20 ayat 2 disebutkan bahwa setiap rancangan UU (RUU) dibahas oleh DPR bersama Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Menurut dia, bila Jokowi mengambil langkah itu, otomatis DPR tidak bisa melanjutkan pembahasan revisi UU KPK. "Ketika presiden bilang saya tidak mau membahas, berarti tidak ada pembahasan," kata Bivitri.