TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun menilai pengawasan internal KPK dinilai sudah berjalan secara efektif melalui Direktorat Pengawasan Internal. Direktorat itu berfungsi sebagai sistem prosedur untuk mendeteksi dan menindak dugaan pelanggaran internal KPK.
"Sudah banyak pegawai dan pimpinan KPK yang ditindak akibat terjerat persoalan etik di internal," ujar Tama di kawasan Cikini, Jakarta Pusat pada Sabtu, 7 September 2019. Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tercantum dalam draf revisi UU KPK tidak diperlukan.
"Ruang pengawasan KPK sudah efektif, jadi tidak perlu Dewan Pengawas." Revisi UU KPK memuat ketentuan tentang Dewan Pengawas KPK. Salah satu wewenang Dewan Pengawas itu adalah memberikan izin tertulis menyadap. Dewan Pengawas dapat memberi izin atau tidak memberi izin paling lama 1×24 jam sejak permohonan diterima. Setelah mengantongi izin Dewan Pengawas, KPK dapat menyadap maksimal selama tiga bulan sejak izin diberikan.
Selain itu, mekanisme pengawasan KPK tidak hanya berjalan dari sisi internal saja, tetapi juga dari masyarakat. "Ada kasus di mana pegawai dan masyarakat menggugat keputusan pimpinan ke pengadilan," ujar Tama. Artinya, kata dia, fungsi pengawasan terhadap KPK sudah berjalan baik sehingga tidak perlu lagi ada Dewan Pengawas.
Akan halnya anggota Badan Legislasi DPR Arsul Sani mengklaim keberadaan Dewan Pengawas tak akan tumpang tindih dengan pimpinan KPK. “Tidak (tumpang tindih), karena di dalam RUU itu apa yang jadi kewenangan Dewan Pengawas juga ditetapkan di sana," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 5 September 2019.
Dalam draf revisi UU KPK, disebutkan bahwa Dewan Pengawas berjumlah lima orang yang dipilih oleh DPR atas usulan presiden. Menurut draf itu, Dewan Pengawas bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.
ANDITA RAHMA | BUDIARTI UTAMI PUTRI