TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Nasir Djamil meminta masyarakat agar tidak salah memahami upaya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Nasir mengatakan revisi UU KPK ini bukan upaya melemahkan ataupun menguatkan lembaga antirasuah.
"Kami tidak ke kiri dan ke kanan," kata Nasir dalam diskusi di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu, 7 September 2019. Anggota DPR tidak termasuk golongan yang ingin melemahkan atau yang termasuk yang menguatkan KPK.
Alasan revisi UU KPK, menurut Nasir adalah, “Kalau orang terlalu kuat juga bahaya.”
Ia mengatakan UU KPK sudah berumur 17 tahun, sehingga harus dievaluasi dan ditinjau kembali keberadaanya. Ia mengatakan hal ini dilakukan agar hasil guna dan daya guna pemberantasan korupsi bisa terwujud seperti yang diharapkan. "Momentum perbaikan KPK ini momen membaiki KPK.”
Memperbaiki, kata dia, bukan berarti ada yang salah. “Jadi mohon jangan dramatisir, seolah DPR ingin melemahkan," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
Menjelang habis masa jabatan periode 2014-2019 para anggota Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati pembahasan revisi UU KPK atau Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Kamis, 5 September 2019, DPR menyepakati revisi UU KPK adalah usul inisiatif DPR.
Revisi UU KPK ini menimbulkan polemik di masyarakat. Terkesan diam-diam dan terburu-buru dalam meloloskan revisi ini, banyak yang menyatakan langkah ini mencurigakan untuk melemahkan lembaga anti rasuah itu.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan setidaknya ada sembilan poin perubahan yang berpotensi melumpuhkan kerja pemberantasan korupsi. Pertama, independensi KPK terancam; kedua, penyadapan dipersulit dan dibatasi; ketiga, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR; keempat, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi; kelima, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Keenam, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria; ketujuh, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas; kedelapan, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan; kesembilan, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.