TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyebut revisi Undang-undang MD3 untuk menambah jumlah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah bentuk kompromi politik. Partai Golkar sebelumnya getol menolak penambahan kuota pimpinan MPR.
"Ya tentu kan kami perlu kompromi juga, jadi tidak semuanya the winners take it all," kata Airlangga di kawasan Cawang, Jakarta Timur, Jumat malam, 6 September 2019.
Menurut Airlangga, Golkar menimbang agar partai-partai pendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin punya kesempatan menjadi pimpinan parlemen.
UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah atau UU MD3 yang berlaku saat ini membatasi jumlah pimpinan MPR dan DPR masing-masing lima orang. Pimpinan DPR dipilih berdasarkan perolehan kursi di pemilihan legislatif, sedangkan pimpinan MPR berdasar sistem paket.
Merujuk aturan ini, empat partai pendukung Jokowi-Ma'ruf dipastikan menjadi pimpinan DPR, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai NasDem, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Adapun Partai Persatuan Pembangunan tak kebagian jatah.
"Kalau di DPR kan dibatasi, tentu kami juga melihat ada partai-partai yang juga mendukung koalisi dan bagaimana ini mempunyai kesempatan untuk menjadi pimpinan," kata dia.
Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani beberapa kali memang bergurau berharap ada partai koalisi Jokowi yang mengalah memberikan jatah pimpinan MPR untuk PPP. Saat itu Partai Amanat Nasional memunculkan ide menambah pimpinan MPR, PPP pun sontak mendukung.
"Kami membuka opsi itu dan mendiskusikan itu," kata Arsul Sani medio Agustus lalu.