TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Filologi Universitas Islam Negeri Jakarta, Oman Fathurahman, menilai disertasi Abdul Azis tentang keabsahan hubungan intim non-marital tak memiliki fondasi yang kuat.
"Sehingga ketika angin bertiup, ia goyah," kata Oman kepada Tempo pada Jumat, 6 September 2019.
Meski tak menggeluti pemikiran Muhammad Syahrur, Oman mengatakan dari beberapa sumber terpercaya yang diketahuinya, banyak sumber primer pemikiran Syahrur yang tidak dirujuk Abdul Azis.
Menurut Oman, penulisan karya ilmiah itu ibarat menarik anak panah. Semakin jauh ditarik ke belakang, semakin kuat menancap dan sulit dilepaskan. "Semakin karya ilmiah menggunakan sumber primer, akan semakin sulit ia dibantah, dan begitu sebaliknya," kata Oman yang juga Staf Ahli Kementerian Agama ini.
Lebih lanjut Oman menjelaskan, dalam sebuah penelitian, terdapat tiga unsur yang penting diperhatikan, yakni topik, pendekatan, dan kontekstualisasinya. Dari segi pemilihan topik, Oman menilai disertasi itu tak bermasalah.
"Pemikiran sekontroversial apapun boleh dikaji. Dari segi pendekatan juga tidak ada masalah, ia menggunakan pendekatan hermeneutik, misalnya," ujar Oman.
Namun, dari segi kontekstualisasi, disertasi ini sedikit bermasalah. Menurutnya, Abdul Azis memaksakan wacana Milk Al-Yamin dalam konteks tertentu untuk diterapkan dalam konteks muslim Indonesia yang jelas berbeda.
Apalagi dalam disertasinya, Abdul Azis menyertakan saran agar pemikiran Syahrur ini dijadikan landasan legalisasi hubungan seksual non-marital di Indonesia. "Ini yang ditolak oleh publik, saya pribadi pun, ya, jelas tidak setuju karena ada norma agama dan etika yang kita junjung," katanya.
Meski begitu, Oman menegaskan sebuah karya ilmiah sebaiknya berhenti pada kesimpulan saja. Tidak perlu menggunakan saran atau rekomendasi. "Biarlah nanti ada pekerjaan tersendiri untuk menyusun policy brief berbasis hasil penelitian," kata Oman.