TEMPO.CO, Jakarta -Dewan Perwakilan Rakyat sepakat merevisi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah atau UU MD3. Revisi ini untuk menambah pimpinan MPR menjadi sepuluh orang.
Anggota Badan Legislasi DPR Arsul Sani mengatakan revisi dan penambahan pimpinan MPR ini terkait dengan agenda amandemen Undang-undang Dasar 1945 untuk mengembalikan Garis-garis Besar Haluan Negara.
"MD3 sudah sepakat karena ada rencana MPR periode depan itu akan menggulirkan amandemen UUD secara terbatas, utamanya yang terkait dengan GBHN," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 5 September 2019.
Arsul mengatakan, penambahan kuota pimpinan MPR untuk menyatukan kekuatan politik yang ada di parlemen. Kata dia, tujuannya adalah agar semua fraksi memiliki posisi setara dalam membahas agenda amandemen tersebut.
"Supaya semua kekuatan politik yang terinvestasikan dalam fraksi, terlepas apakah dia besar atau kecil, bisa duduk sama rendah, berdiri sama tinggi," kata dia.
Meski begitu, Arsul membantah bahwa sudah ada kesepakatan agar semua fraksi menyepakati agenda amandemen UUD 1945. Dia mengatakan, hal itu masih akan dibicarakan dan didiskusikan lebih lanjut.
Jika ditilik ke belakang, sebelumnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan gencar menginisiasi amandemen UUD 1945, tetapi menolak penambahan pimpinan MPR. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam Kongres V PDIP di Bali awal Agustus lalu juga mewanti-wanti Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto agar UU MD3 tak direvisi. "Ya namanya politik itu kan dinamis," kata Arsul perihal ini.