TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menilai pengesahan usulan revisi UU KPK oleh DPR melanggar hukum. Pasalnya, revisi UU KPK tidak masuk dalam RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional 2019 yang telah disepakati antara DPR dan Pemerintah.
PSHK menganggap tindakan DPR itu telah melanggar Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. “Aturan itu mengatur bahwa penyusunan RUU dilakukan berdasarkan Prolegnas,” kata Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK, Fajri Nursyamsi dalam keterangan tertulis, Kamis, 5 September 2019.
Lebih lanjut Fajri mengatakan pengesahan ini juga melanggar Tata Tertib DPR. Pasal 65 huruf d Tatib DPR menyebut bahwa Badan Legislasi bertugas menyusun RUU berdasarkan program prioritas yang ditetapkan. Selain itu, aturan yang sama juga mengatur bahwa Baleg DPR bertugas memberikan pertimbangan terhadap RUU yang diajukan anggota DPR, komisi atau gabungan komisi untuk dimasukkan dalam Prolegnas perubahan.
“Seharusnya Baleg DPR mengusulkan RUU prioritas dalam prolegnas, bukan langsung menjadi usul inisiatif,” kata Fajri.
Namun yang terjadi, Baleg DPR secara diam-diam menyusun revisi UU KPK. Adanya draf tersebut baru diketahui ketika menyetujui usulan tersebut dalam Rapat Paripurna, hari ini.
PSHK menyesalkan DPR justru melanggar peraturan perundang-undangan dan aturan internal kelembagaannya sendiri. Fajri mengatakan pihaknya juga meminta Presiden Joko Widodo tidak mengirimkan Surat Presiden kepada DPR, sehingga proses pembahasan tidak dapat dilaksanakan. “Presiden Jokowi harus fokus pada RUU prioritas dalam Prolegnas 2019,” kata Fajri.
Secara terpisah, Direktur Pusat Studi Antikorupsi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan terdapat cacat prosedur dalam pengesahan pembahasan revisi UU KPK. Dia mengatakan RUU ini tiba-tiba muncul tanpa adanya pembahasan dengan pemerintah untuk masuk dalam Prolegnas. “Sesuatu yang cacat prosedur harusnya batal demi hukum,” kata dia.