TEMPO.CO, Jakarta-Indonesia Corruption Watch menganggap Dewan Perwakilan Rakyat tidak tertib hukum ketika mengatur soal penyadapan dalam revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (revisi UU KPK). Seharusnya, menurut ICW, DPR merampungkan dulu RUU tentang Penyadapan. UU inilah yang kemudian dijadikan payung hukum bagi aturan pengadaan di UU KPK.
"Menurut mandat Mahkamah Konstitusi, harus ada satu payung hukum. Tapi kenapa muncul poin ini, mestinya DPR konsisten dengan sistematika hukum," kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, Kamis, 5 September 2019.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menganggap pengaturan penyadapan dalam rancangan beleid itu hanya upaya pelemahan KPK. Dalam RUU KPK yang pembahasannya telah disahkan pada hari ini, KPK mesti mendapatkan izin dari Dewan Pengawas ketika akan melakukan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
Dia berujar kewenangan Dewan Pengawas yang terlalu besar berpretensi untuk mengontrol KPK. "Dengan perubahan itu langkah KPK akan tidak progresif, terutama di bidang penindakan," kata Fickar.
Sebelumnya, dalam draf RUU KPK, DPR mengusulkan adanya Dewan Pengawas. Pimpinan KPK nantinya mesti mendapatkan izin dari dewan yang beranggotakan lima orang itu ketika akan melakukan penyadapan.
Dewan pengawas kemudian harus memberikan respon atas permintaan itu paling lama 1x24 jam. Izin yang diberikan dewan hanya berlaku paling lama 3 bulan dan dapat diperpanjang paling banyak satu kali. Hasil sadapan juga harus dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas.