TEMPO.CO, Jayapura - Peti mati berwarna putih itu terparkir di ruang jenazah Rumah Sakit Bhayangkara, Jayapura, Provinsi Papua. Di dalamnya bersemayam sesosok jasad seorang pria.
Tak terdengar isak tangis dan ucapan duka yang menemani kepergiannya. Usai kerusuhan besar pecah di Jayapura pada Kamis, 29 Agustus 2019, tak ada sanak famili yang mengetahui di mana dia berada.
Jenazah misterius itu diterima rumah sakit pada Jumat lalu, sehari setelah kerusuhan. Kondisinya penuh luka akibat kekerasan.
Tim dokter kesulitan mengidentifikasi identitas korban lantaran tak memiliki kartu pengenal. "Identitas korban tidak ketahui" ujar Kepala RS Bhayangkara Jayapura, Ajun Komisaris Besar, Heri Budiono pada Rabu lalu, 4 September 2019.
Jasad tersebut korban kekerasan sekelompok warga yang bereaksi terhadap demonstrasi menolak perlakuan rasisme yang berujung kerusuhan.
Sejumlah pemilik bangunan dan kendaraan yang menjadi korban pengrusakan tersebut melampiaskan kemarahan dengan memburu sejumlah peserta demonstrasi seusai aksi.
Di RS Bhayangkara, menurut Heri, tercatat tiga korban meninggal. Tim dokter juga melayani pengobatan ringan 20 orang yang terluka.
Korban meninggal juga terdapat di tiga rumah sakit lain di Jayapura, yaitu RSUD Abepura, Dok 2, dan RS TNI Angkatan Laut.
"Total korban meninggal ada 6, berasal dari kedua belah pihak," ucap Heri.
Kemarin, Rabu, 4 September 2019, RS Bhayangkara menyerahkan jasad Evert Mofu, 35 tahun, warga Jalan Pemuda, Klotkam, Kota Jayapura. Sehari-hari Evert bekerja sebagai buruh pelabuhan.
Dia ditemukan tewas ketika hendak berangkat kerja pada Jumat pagi, 30 Agustus 2019. Ia sempat melarikan diri bersama dua saudaranya ketika diburu sekelompok warga. Nasib nahas dialaminya tak jauh dari Gedung DPRP Jayapura.
Sepupu mendiang Evert, Filamon Mofu (60), berharap masyarakat Papua baik warga asli maupun pendatang mengendalikan diri. Menurut dia, melancarkan aksi balasan hanya akan menambah beban masalah semakin berat.
Pihak keluarga Evert tetap menuntut Kepolisian menangkap dan menghukum pelaku kekerasan. "Kami ingin mendapat perlakuan adil."
Pasca kerusuhan berdarah di Tanah Papua, personil TNI dan Polri menjaga ketat sejumlah objek vital, seperti pelabuhan dan kantor pemerintahan. Sebaran pasukan terbanyak di wilayah Abepura.
Abepura dijadikan fokus pengamanan lantaran di sana terdapat kantong-kantong massa dari kedua belah pihak.
Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia wilayah Papua, Fritz Ramenday, mengatakan masih menginventarisasi jumlah korban, baik yang tewas maupun luka.
Data tersebut juga dihimpun dari wilayah bentrok di tempat lain, seperti Deiyai, Sorong, serta Manokwari. "Cukup sudah kekerasan di Tanah Papua," ujar Fritz.
RIKY FERDIANTO (JAYAPURA)