TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Resor Kota Malang menetapkan seorang petani asal Tambakrejo, Sumbermanjing Wetan, Malang, Sriwoto, menjadi tersangka. Pria 57 tahun ini dituduh berkebun tanpa izin di lahan milik Perum Perhutani Malang.
Status tersangka ini ia ketahui dari surat pemanggilan yang dialamatkan ke rumahnya pada 29 Agustus 2019. "Padahal saya sudah menerima surat izin perhutanan sosial dari Kementerian KLHK pada 5 Maret 2018, dan sudah saya tunjukkan juga ke kepolisian pada waktu itu yang mengenakan wajib lapor pada saya," kata dia kepada Tempo, Kamis, 29 Agustus 2019.
Konflik bermula pada akhir Agustus 2018. Saat itu, Sriwoto tengah membersihkan ladang kebun miliknya yang ditanami cengkeh, jengkol, dan nangka seluas kurang dari dua hektar di dalam kawasan hutan Perum Perhutani KPH Malang. Ia bersama warga lainnya memang sudah bercocok tanam di kawasan hutan tersebut selama belasan tahun.
"Saya sudah menanam di hutan itu selama 14 tahun," kata Sriwoto. Hingga pada 15 Maret 2018, ia dan ratusan warga lainnya yang tergabung dalam Kelompok Tani Maju Mapan menerima surat izin perhutanan sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan SK 944/MenLHK-PSKL/PKPS/PSL.O/3/2018.
Surat izin pengelolaan kawasan hutan dalam skema perhutanan sosial ini diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 9 Maret 2018 di Tuban. Berbekal surat izin inilah, Sriwoto menjadi yakin kegiatannya menanam dan mengelola hasil tanamannya memiliki legalitas yang kuat.
Namun, pada akhir Agustus itu, ia yang sedang membersihkan lahan miliknya tiba-tiba didatangi sejumlah orang yang mengaku dari Perum Perhutani dan mengatakan aktivitasnya ilegal. Ia langsung digelandang ke Polres Malang tanpa diberi kesempatan membela diri atau menunjukkan surat izin yang sudah diperoleh secara sah.
Sriwoto hanya menginap semalam di kantor polisi untuk dimintai keterangan. "Setelah itu saya dilepas dengan wajib lapor," kata dia. Di saat wajib lapor itulah, Sriwoto menunjukkan SK Menteri KLHK yang menunjukkan ia memiliki hak untuk mengelola lahan tersebut secara legal.
Setelah itu, Sriwoto tidak pernah dipanggil lagi untuk dimintai keterangan. Dia juga tak menerima surat perintah penyidikan (Sprindik), dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), tahu-tahu ia dikirimi surat pemanggilan tersangka yang menyebutkan Sriwoto wajib datang pada Jumat, 30 Agustus 2019, setahun setelah kejadian perkara, untuk memberikan keterangan tambahan.
Sriwoto telah menemui Dirjen Penegakan Hukum Rasio Ridho Sani pada 29 Agustus 2019 untuk menanyakan perihal izin yang diberikan padanya. Ia juga telah menghadap ke Kantor Staf Presiden yang ditemui oleh Tenaga Ahli KSP Usep Setiawan.
"Saya ini diberi izin melalui SK perhutanan sosial oleh kementerian, kenapa sekarang saya dijadikan tersangka? Saya hanya ikut arahan Presiden, lah kok saya mau dihukum untuk kasus yang sudah setahun lalu?" kata dia.
Pada Senin, 2 September 2019, ia mendapatkan surat pemanggilan kedua sebagai tersangka. Ia dikenai perkara dugaan tindak pidana melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin di dalam kawasan hutan. Polisi mengenakan pasal 92 ayat (1) jo pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ia dituntut 3 hingga 5 tahun penjara dengan denda sebesar Rp 1-5 milyar.