TEMPO.CO, Yogyakarta - Pusat Studi Antikorupsi atau Pukat Universitas Gadjah Mada (UGM) menyesalkan masuknya Inspektur Jenderal Firli Bahuri dalam 10 nama Capim KPK (Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi).
Menurut peneliti Pukat UGM Zaenurrohman, Koalisi Masyarakat Sipil sudah mewanti-wanti Panitia Seleksi Capim KPK bahwa Firli bermasalah dalam kode etik pada saat menjabat Deputi Penindakan KPK.
“Firli pernah memiliki masalah etik di KPK,” kata Zaenurrohman pada Senin, 2 September 2019.
Dengan masuknya Firli Bahuri dalam 10 Capim KPK, ia menerangkan, berarti Presiden Jokowi tidak mendengarkan suara para aktivis antikorupsi. “Presiden tidak punya komitmen pemberantasan korupsi."
Zaenurrochman menuturkan Presiden Jokowi perlu meminta akuntabilitas kerja Pansel Capim KPK. Caranya, meminta penjelasan soal proses dan hasil kerja Pansel. Bahkan, Presiden bisa meminta Pansel Capim KPK mencoret nama-nama calon yang memiliki catatan buruk dalam pemberantasan korupsi.
Menurut dia, Presiden Jokowi dapat mengganti calon bermasalah sebelum datanya dikirim ke DPR. Presiden memiliki kewajiban hukum untuk mengevaluasi Pansel Capim KPK karena Pansel bekerja untuk dan atas nama Presiden.
“Jadi tanggung jawab berada di tangan pemberi mandat (Presiden Jokowi),” kata Zaenurrohman.
Adapun Direktur Hicon Law & Policy Strategies Hifdzil Alim berpendapat Pansel Capim KPK seharusnya tidak punya beban untuk mencoret calon yang independensi, integritas, serta keberaniannya dalam memberantas korupsi dipertanyakan. “Coret saja."
MUH SYAIFULLAH
CATATAN KOREKSI: Judul berita ini diubah pada Selasa 24 September 2019, untuk memperbaiki tata bahasa dan menjernihkan maknanya. Terimakasih atas kritik pembaca dan redaksi mohon maaf.