TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi mengecam penangkapan delapan mahasiswa Papua di Jakarta dan Depok. Mereka menilai penangkapan ini justru memanaskan situasi.
"Kami khawatir upaya berlebihan yang dilakukan kepolisian dapat memperburuk masalah terkait Papua yang yang tengah terjadi," ujar salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi, Asep Komarudin, saat dihubungi, Ahad, 1 September 2019.
Dari laporan yang diterima Koalisi Masyarakat Sipil, penangkapan delapan mahasiswa itu dilakukan dalam empat bagian. Penangkapan pertama terhadap 2 orang mahasiswa pada 30 Agustus 2019, di sebuah asrama di Depok. "Penangkapan ini dilakukan dengan mendobrak pintu dan menodongkan pistol," kata Asep.
Penangkapan kedua dilakukan terhadap dua mahasiswa asal Papua saat aksi solidaritas di depan Polda Metro Jaya, Sabtu, 31 Agustus 2019. Pada hari yang sama, tiga perempuan asal Nduga ditangkap di sebuah kontrakan di Jakarta.
Pada Sabtu malam, 31 Agustus 2019, penangkapan terakhir dilakukan terhadap Jubir Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Surya Anta. Ia ditangkap oleh 2 orang polisi yang berpakaian preman di Plaza Indonesia dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
"Saat penangkapan, polisi menjelaskan pasal yang disangkakan adalah makar terkait Papua," kata Asep.
Menurut Asep, dari laporan yang mereka terima, para mahasiswa ini sempat diancam tidak mengambil video atau gambar. Bahkan aparat gabungan juga disebut sempat memukul salah satu perempuan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi mengecam keras tindakan ini. Mereka meminta agar kepolisian menghentikan penyisiran ke asrama-asrama mahasiswa asal Papua.
"Kami juga meminta agar menghentikan penangkapan mahasiswa Papua secara sewenang-wenang dan mengambil inisiatif dialog yang berkelanjutan, sebagai upaya menyelesaikan konflik di Papua secara damai," kata Asep.