TEMPO.CO, Jakarta - Panitia seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) akan menyerahkan sepuluh nama kepada Presiden Jokowi pada Senin, 2 September 2019. Nama-nama tersebut disaring dari 20 peserta yang sebelumnya telah mengikuti uji publik sejak 27 Agustus hingga 29 Agustus lalu.
Berikut nama-nama capim KPK yang memiliki catatan dalam rekam jejaknya:
1. Firli Bahuri
Inspektur Jenderal Firli Bahuri diduga melakukan pelanggaran etik karena melangsungkan pertemuan dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi atau TGB Zainul Majdi. Pertemuan tersebut berlangsung saat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, sementara TGB diduga terlibat dalam kasus korupsi dana divestasi Newmont Nusa Tenggara.
Mereka diduga bertemu lebih dari satu kali. "Fokus tim bukan hanya pada satu pertemuan saja, tetapi sekitar tiga atau empat pertemuan," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, di kantornya, Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2019.
Koalisi Kawal Capim KPK menyorot dugaan pertemuan itu ketika Firli menjadi salah satu calon yang lolos hingga tahap 20 besar. Firli dianggap telah melanggar kode etik karena melanggar Pasal 65 dan 66 Undang-Undang KPK.
Dua Capim KPK dari unsur Polri, Kapolda Sumsel Irjen Pol Firli Bahuri (kiri) bersama Kepala Biro Perawatan Personel SSDM Polri Brigjen Pol Sri Handayani (kanan) bersiap mengikuti tes kesehatan Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019. Sebanyak 20 orang yang dinyatakan lolos dalam tes "profile assessment" Capim KPK masa jabatan 2019-2023 mengikuti tes kesehatan tersebut. ANTARA
Pasal itu melarang pegawai mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK. Ada sanksi pidana maksimal 5 tahun penjara bila aturan itu dilanggar.
2. Antam Novambar
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Inspektur Jenderal Antam Novambar diduga pernah melakukan pengancaman kepada Direktur Penyidikan KPK Endang Tarsa.
Peristiwa ini terjadi di restoran cepat saji, McDonald, Larangan, Tangerang, pada 8 Februari 2015. Saat itu, hubungan KPK dan Polri sedang panas-dingin, setelah calon Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan menjadi tersangka rekening gendut oleh KPK. Menurut berita Majalah Tempo edisi 16-22 Februari 2019, Antam mengintimidasi Endang untuk bersaksi meringankan dalam sidang praperadilan kasus BG.
Antam membantah pernah melakukan teror terhadap Endang. Ia justru mengatakan dirinyalah yang dikelabui oleh Endang.
“Saya tidak pernah meneror Endang Tarsa,” kata Antam saat mengikuti uji publik dan wawancara seleksi capim 2019-2023 di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2019.
3. Jasman Panjaitan
Pensiunan jaksa yang saat ini menjadi calon pimpinan KPK Jasman Panjaitan mengklarifikasi soal tuduhan menerima uang dari pengusaha D.L. Sitorus terkait dengan korupsi perubahan kawasan hutan produksi di Padang Lawas, Sumatera Utara.
Pada 2006, Jasman diketahui menangani kasus korupsi perubahan kawasan hutan produksi di Padang Lawas, Sumatera Utara, dengan tersangka pengusaha D.L. Sitorus. Dalam pleidoinya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 3 Juli 2006, D.L. Sitorus mengaku pernah diperas oleh jaksa sebesar Rp84,6 miliar.
Pensiunan jaksa, Jasman Panjaitan, mengikuti wawancara uji publik calon pimpinan KPK di Sekretariat Negara, Jakarta, 28 Agustus 2019. Tempo/Friski Riana
Tudingan ini kembali ditampik oleh Jasman dalam uji publik seleksi Capim KPK "Berita itu tidak benar. Itu atas pernyataan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh sudah dibuktikan. Saya diperiksa dan juga memanggil sejumlah pengacara, seperti L.M. Samorsir, Juniver Girsang semua diperiksa karena itu ide mereka," kata Jasman di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu, 28 Agustus 2019.
Dalam uji publik, Jasman pun diminta untuk mengklarifikasi soal absennya 11 kali melaporkan LHKPN selama menjadi jaksa.
Jasman mengatakan sepanjang masih aktif jadi jaksa, ia telah dua kali melaporkan LHKPN. Ia mengaku tidak mengetahui berapa jumlah harta tidak bergerak atas nama dia dan istrinya. Ia hanya tahu harta pribadinya sendiri.