TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Presiden untuk Papua, Lenis Kogoya, mengatakan, untuk menciptakan kondisi Papua yang aman maka konsep pembangunan di sana harus dengan pendekatan hati dan membenahi akar masalahnya.
"Kalau Papua aman dan Papua betul-betul aman harus kita angkat akar masalah sebenarnya. Tidak bisa kita bicara masalah Papua sekedar bicara, tapi Papua bicara utuh-utuh harus bicara benar-benar dengan hati," kata Lenis di kantornya, Jakarta, Jumat, 30 Agustus 2019.
Lenis mengungkapkan, alasan masyarakat Papua marah dan meminta referendum karena akar permasalahannya adalah implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus yang belum maksimal. Salah satunya tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh perempuan yang belum menerima anggaran dari Dana Otsus.
Berdasarkan Perdasus Papua Nomor 25 Tahun 2013 tentang Pengelolaan dan Pengalokasian Dana Otsus Papua di Kabupaten/Kota, tiga kelompok tersebut semestinya menerima masing-masing 2 persen.
Padahal, kata Lenis, anggaran tersebut dibutuhkan tokoh perempuan untuk mama-mama membuat noken, berjualan sayur, modal usaha, dan kredit murah. Dana untuk tokoh adat diberikan agar menjaga wilayah Papua. Sedangkan dana juga dibutuhkan tokoh agama untuk pelayanan terhadap umat.
Selain dana otsus, akar persoalan lainnya di Papua adalah belum diangkatnya 12 ribu pegawai honorer menjadi PNS. Selain itu, ada 80 ribu orang asli Papua yang diputus hubungan kerja oleh Freeport. "Akar masalahnya dari situ, baru lah meledak satu kali yang terjadi sedikit tapi kayak api langsung nyala," katanya.
Lenis juga menyebut aturan Perpres Nomor 84 Tahun 2012 yang menyulitkan para pengusaha di Papua. Dalam perpres itu, paket pekerjaan senilai Rp 500 juta dapat melalui metode pengadaan langsung atau penunjukan langsung untuk pekerjaan di wilayah pantai, dan Rp 1 miliar di wilayah pegunungan. Pengusaha asli Papua, kata Lenis, merasa tidak ada pembinaan dari pemerintah mengenai implementasi perpres tersebut.
Salah satu langkah yang harus diambil, Lenis menyebutkan salah satunya dengan audit keuangan dana otsus sebelum UU Otsus berakhir pada 2021. Hal itu perlu dilakukan agar masyarakat Papua mengetahui pengunaan uang itu. "Supaya kami orang adat, orang awam, masyarakat kecil itu tahu penggunaan uang itu ke mana yang jelas," katanya.