TEMPO Interaktif, Jakarta:Konsorsium Reformasi Hukum Nasional menilai proses rekrutmen hakim konstitusi melalui mekanisme internal akan menjadi peluang bagi masuknya interes politik ke dalam Mahkamah Konstitusi. Sebenarnya pemerintah sendiri sudah mempolitisasi Mahkamah Konstitusi. Indikator pertamanya adalah prosesnya bertele-tele, kata Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional Firmansyah Arifin pada pers di kantornya, Jumat (8/8) siang.
Menurut dia, seharusnya proses dan mekanisme rekrutmen hakim konstitusi dilakukan melalui mekanisme yang berlaku di DPR dan seyogyanya membuka partisipasi masyarakat. Selain untuk meminimalisasi masuknya interes politik, juga untuk mendapatkan sosok hakim konstitusi yang adil dan memiliki integritas yang tidak tercela.
Mekanisme rekrutmen yang dia maksud dimulai dari penjaringan calon, penetapan calon, publikasi, verifikasi penilaian masyarakat terhadap calon, uji kepantasan dan kelayakan, penetapan hakim, dan pengangkatan oleh presiden. Tahapan fit & proper test agar penilaian lebih obyektif dan akuntabel untuk menghasilkan hakim konstitusi yang independen, Arif memberi alasan.
Tahap publikasi i, menurut Arif, harus dilakukan karena berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi. Dengan mempublikasikan nama-nama yang diajukan sebagai calon hakim konstitusi, akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menilai mereka.
Saat ini, DPR, Presiden, dan MA tengah menyiapkan sembilan orang hakim yang akan duduk di Mahkamah Konstitusi. Dari sembilan hakim itu, tiga orang dipilih DPR melalui tahapan proses rekrutmen, tiga orang merupakan pilihan Presiden, dan tiga orang lagi wewenang Mahkamah Agung untuk memilih. Ketua MA Bagir Manan menyatakan tidak akan mengadakan uji kelayakan dan kepantasan bagi calon hakim konstitusi dari MA. (Fitri Oktarini-Tempo News Room)