TEMPO.CO, Jakarta - Polri menyatakan dokter-dokternya menolak menjadi eksekutor kebiri kimia untuk terpidana pelecehan seksual bernama Aris di Mojokerto.
"Kalau dari Polri, aturan kami kalau itu memang kode etik profesi maka kode etik dari IDI yang digunakan," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, pada Rabu, 28 Agustus 2019.
Meski dokter berada di bawah naungan Polri, tetapi mereka, kata Dedi, tetap mengikuti kode etik yang diterapkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
"Jadi itu digunakan profesi dokter mau dokter itu dari polisi maupun tentara dari instansi manapun harus tunduk pada kode etik profesi. Ini kan dari perspektif kedokteran yang paling paham," ujar Dedi.
Alhasil, dokter dari Polri tetap menyesuaikan pada sikap IDI yang menolak melakukan kebiri kimia.
Sebelumnya, IDI secara tegas menyatakan sikap tak bersedia mengeksekusi hukuman kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual. Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Adib Khumaidi mengatakan, eksekusi kebiri kimia bertentangan dengan sumpah, etika, dan disiplin kedokteran yang berlaku internasional.
Dalam kasus Aris, terdakwa pemerkosaan sembilan anak, ia divonis Pengadilan Negeri Mojokerto dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur dengan hukuman kebiri kimia. Hukuman ini merupakan pemberatan selain vonis 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
ANDITA RAHMA | BUDIARTI UTAMI PUTRI