TEMPO.CO, Medan-Mantan calon gubernur Sumatera Utara Djarot Saiful Hidayat mendatangi Pengadilan Negeri Medan untuk menjadi saksi dalam sidang lanjutan perkara fitnah lewat media elektronik, Selasa, 27 Agustus 2019. Agenda sidang ialah mendengarkan keterangan politikus PDI Perjuangan itu soal perkara dengan terdakwa Dewi Budiati, 54 tahun, warga Jalan Karya Sembada Nomor 44, Kelurahan Padangbulan, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan.
Namun sidang yang diketuai majelis hakim Sri Wahyuni Batubara hanya dibuka sebentar. Sebab jaksa penuntut umum Haslinda Hasan tidak dapat menghadirkan terdakwa. Menurut penasihat hukumnya, Dewi Budiarti sedang sakit. "Saya minta dipastikan sakitnya terdakwa tidak diprogram," kata Djarot.
Djarot mengaku kecewa dengan ketidakhadiran terdakwa. Pasalnya, ia yang berdomisili di Jakarta saja masih menyempatkan diri menghadiri persidangan untuk menunjukkan kalau punya niat baik. Djarot mengaku tidak mengenal terdakwa, dan mungkin terdakwa juga tidak mengenal dia. Namun dengan mudahnya fitnah dilakukan.
"Ini yang harus kita lawan! Lawan berita-berita fitnah dan bohong. Kalau ada berita bohong yang menyangkut siapa saja, laporkan lewat jalur hukum karena ini adalah negara hukum. Saya akan memperjuangkan hak saya," ujar mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini.
Perkara bermula dari status akun Facebook Legros Aliyah yang menuding Djarot telah menyuap beberapa kepala desa di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Dalam postingan bertanggal 6 Juni 2018 pukul 19.35 WIB, tertulis barang bukti tudingan tersebut adalah sobekan kertas pengikat uang dengan nominal Rp 10 juta yang tercecer di lantai.
Besoknya, 7 Juni 2018 sekira pukul 03.36 WIB, terdakwa mengunggah status dengan kalimat serupa. Selang satu jam kemudian, terdakwa kembali membuat status di media sosialnya dengan tambahan tulisan, "Berita Djarot dan Kades Asahan bukan hoak, kejadiannya pada 5 Juni pukul 21.00 WIB di kantor Apdesi Asahan."
Jaksa mendakwa Dewi telah membagikan postingan orang lain berisi berita bohong dan menghinaan yang menyemarkan nama baik. Tujuannya agar Djarot yang saat itu mencalonkan diri menjadi gubernur Sumatera Utara dipandang kotor dan tidak dipercayai masyarakat.